Bentuk Anak Autis Berpikir Mandiri

MEMBESARKAN anak autis memang butuh kesabaran yang tinggi. Selain itu, orangtua juga harus menerapkan metode yang tepat untuk membuat mereka menjadi pribadi yang mandiri. Intinya adalah diagnosa akurat, pendidikan tepat, dan dukungan kuat.

Selama ini begitu banyak stigma negatif tentang autis beredar di masyarakat. Ada yang bilang autis disebabkan santet, autis hanya diderita oleh orang kaya, autis itu sama dengan gila, dan autis itu menular. Stigma tersebut muncul karena pemahaman masyarakat tentang autis ini masih sangat minim.

"Sebenarnya kita tidak juga harus menyalahkan masyarakat luas," tandas seorang ibu dari anak autis sekaligus pendiri Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) Gayatri Pamoedji SE MHc. Malah, Gayatri mengatakan bahwa tidak sedikit juga orang yang mengatakan autis itu adalah penyakit. Padahal yang benar ialah, anak autis adalah anak yang mengalami gangguan dalam perkembangannya.

"Autis bukan penyakit, autis itu kondisi," tuturnya dalam acara temu media bertema "Menciptakan Masa Depan Mandiri bagi Anak Penyandang Autis" yang diadakan oleh MPATI, belum lama ini. Disarankan oleh Gayatri, segera tangani anak autis dengan benar, pastikan bahwa mereka mendapatkan pengasuhan yang tepat. Untuk menangani anak autis, inti dari penanganan itu ialah diagnosa, pendidikan, dan dukungan.

Dalam hal diagnosa, dibutuhkan diagnosa yang tepat dan akurat oleh dokter ahli. Di mana yang bisa dijadikan patokan bahwa seorang anak mengalami autis, bisa dilihat dari tujuh ciri anak autis, dan jika anak mengalami dua atau lebih dari ciri tersebut, maka bisa dikatakan anak tersebut alami autis.

"Lakukan sedini mungkin karena gejala autisme biasanya terlihat sebelum anak mencapai usia tiga tahun," tutur wanita yang juga pendiri Sekolah Pantara untuk pelatihan para guru dan membuat kurikulum sekolah untuk anak-anak dengan AD/HD.

Selain itu, pendidikan tepat juga harus diberikan untuk membentuk anak autis menjadi mandiri. Gayatri menuturkan, jika anak autis diberikan pendidikan yang tepat, maka mereka mampu mandiri, dapat mengerti dan mengikuti perintah, mampu untuk duduk mendengarkan, serta patuh menunggu giliran.

"Dan itu semua merupakan kemampuan dasar yang sebaiknya dikuasai anak autis sebelum masuk sekolah," ujar wanita yang mengambil gelar sarjana ekonomi di Universitas Indonesia ini.

Gayatri menyarankan, apabila ingin memasukkan anak ke sekolah, maka lakukan penanganan dini jauh sebelum anak ini pergi sekolah dan sebelum masuk pada usia sekolah. Ajarkan hal-hal kecil terlebih dahulu, seperti buang air sendiri, makan dan minum sendiri, hingga mampu memasang kancing baju sendiri.

"Ini sangat membantu gurunya kelak sehingga guru pun tidak kewalahan pada saat mereka masuk sekolah, di usia yang seharusnya mereka ada di sekolah," ujar wanita lulusan Master of Health Conseling, Curtin University of Technology, Perth, Australia Barat ini.

Dan yang terakhir adalah dukungan yang kuat. Tidak hanya dari orangtua atau keluarga, melainkan dari lingkungan sekitarnya termasuk dukungan media.

Dalam bukunya yang bertajuk 200 Pertanyaan & Jawaban Seputar Autisme, Gayatri menuliskan bahwa dalam merawat anak autis, orangtua sebaiknya saling berbagi tugas.

Pembagian tugas ini bisa dijalankan sesuai dengan kelebihan dari masing-masing karakter ibu atau ayah serta waktu yang mereka miliki. Semisal jika ayah pandai matematika, maka tugas mendampingi anak membuat pekerjaan rumah matematika dilakukan sang ayah.

Sama halnya dengan ibu, jika ibu lebih mahir dalam hal berkomunikasi, ibulah yang menjadi manajer dan juru bicara (jubir) anak untuk urusan sekolah. Idealnya, dilakukan komunikasi yang jujur dan terbuka. Atau ibu juga bisa membantu agar ayah lebih percaya diri dan mau lebih dekat dengan anak, misal dengan melakukan tugas menyenangkan, seperti bermain video gamebersama.

Di saat ayah bermain dengan anak, ibu bisa menggunakan waktu senggang untuk beristirahat. Buatlah daftar dari pekerjaan atau tugas yang diperlukan untuk mendidik anak. "Dengan penanganan terpadu, anak penyandang autis punya masa depan. Harapan selalu ada, pasti ada kemajuan jika orangtua mau terlibat," pesannya.

Sementara psikolog dari Universitas Indonesia, Dra Dyah Puspita MSi menyatakan bahwa pola asuh dalam merawat anak autis sama saja dengan anak biasa.

"Namun, ada beberapa aturan yang harus dipatuhi serta ada konsekuensi untuk perilaku baik atau buruk," ucap psikolog yang juga sebagai penanggung jawab pendidikan di Sekolah Khusus Autisma Mandiga. Dengan penuh semangat, percaya diri, serta kesabaran tinggi, maka yakinlah jika membesarkan anak autis menjadi pribadi yang mandiri bukanlah suatu impian belaka.