Jumat, 28 Mei 2010

Belajar memiliki hati yang lebih peka

Sewaktu hari wisdua, dimana saya sibuk berfoto bersama teman-teman, tiba-tiba Papa memanggil dan mengajak saya berfoto bersama seorang pemudi yang dilihatnya sedang duduk sendirian sambil mengamati sukacita teman-temannya yang berlarian kesana kemari dengan gelak tawa riang. Si pemudi ini satu tingkat di atas saya, jadi saya kurang begitu mengenalnya, bahkan sekarang pun saya sudah lupa namanya, padahal kami cukup sering bertemu karena pernah mengambil kelas-kelas kuliah yang sama. Apa yang menarik dari pemudi ini sampai Papa saya ingin berfoto dengannya?

Papa saya bilang, dan ini sebuah pelajaran berharga buat saya di hari wisuda, “Anak ini hebat. Meskipun dia cacat dan memakai kursi roda, dia bisa menyelesaikan studinya dengan baik. Papa mau kita foto dan berkenalan dengannya.”

Selama 4 tahun saya berada satu kampus dengannya, bahkan sering satu kelas, tak pernah sekali pun ada kepekaan dalam hati saya terhadap dia, betapa malunya saya. Papa saya telah mengajarkan satu hal penting, yaitu bagaimana memiliki mata hati yang bisa melihat menembus hal-hal fisik. Saya jadi teringat teman-teman pria semasa kuliah, yang dengan setia, selalu bergantian mengangkat si pemudi tsb dengan kursi rodanya naik tangga menuju ruang kuliah. Bayangkan bila kelas kami berada di lantai 4 dan tidak ada lift (dan ini benar-benar terjadi), selama bertahun-tahun teman saya ini diangkat, dibawa naik dan turun oleh teman-teman pria yang bertubuh kuat.

Saya pikir, teman-teman pria tersebut telah mempraktekkan apa yang dikatakan dalam Efesus 4:2 “Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” Ya, anak-anak dan orang berkebutuhan khusus umumnya sangat membutuhkan bantuan orang lain, dan ini adalah kesempatan bagi kita untuk memberikan perhatian-perhatian kecil yang bukan saja menyukakan manusia melainkan juga menyukakan hati Tuhan.

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berbincang dengan seorang Kepala Sekolah dari sebuah Sekolah Kristen. Sekolah ini pernah menerima anak-anak berkebutuhan khusus dan menempatkannya dalam kelas yang sama dengan anak-anak “normal” lainnya. Memang, beban tugas para Guru jadi lebih berat, demikian juga dengan anak-anak “normal” yang mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan kehadiran teman spesial mereka ini, yang kadang menghilang dari kelas, mengacaukan apa yang sudah dirapikan oleh seluruh anggota kelas, dan masih ada banyak kejutan-kejutan lainnya yang terjadi. TETAPI … ada berkat di balik semua hal yang seolah “mengganggu” jalannya pelajaran tsb.

Bila kita menganggap pendidikan adalah sekedar mentransfer Ilmu Pengetahuan, maka baiklah lupakan anak-anak berkebutuhan khusus. Karena mereka hampir tidak mungkin se-brillian teman-teman “normal” mereka. Tetapi bila kita menganggap pendidikan adalah sebuah proses dimana anak-anak kita belajar untuk menjalani HIDUP ini dengan lebih bijak, lebih berwawasan, lebih pandai, dan lebih terampil, maka mengijinkan mereka (baik anak-anak “normal” maupun anak-anak berkebutuhan khusus) hidup bersama-sama dalam suatu komunitas akan membawa hasil yang sangat luar biasa.

Anak-anak “normal” di kelas ini tumbuh menjadi anak-anak yang lebih mau mengerti orang lain, lebih bisa menguasai emosi dan bahkan membantu Guru untuk mengawasi maupun membantu teman mereka yang berkebutuhan khusus tsb. Perlu diingat, bahwa anak-anak yang saya ceritakan di sini adalah anak-anak BALITA. Luar biasa bukan? Menarik sekali mengetahui bahwa ada lingkungan pendidikan yang sedemikian “ramah” dan “bersahabat” bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, karena ada kebijakan baru dari pihak yayasan untuk tidak lagi menerima anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar