Kamis, 15 April 2010
rahasia manfaat puasa senin kamis
1. jalan menuju sehat
2. jalan menuju takwa
3. menjadi insan yng dicintai ALLAH
4. sarana membentuk jiwa islami
5. upaya mensyukuri nikmat ALLAH
6. membentengi diri dari dosa dan maksiat
7. kunci membuka pintu rezeki
8. jalan menemukan solusi suatu masalah
Sabtu, 10 April 2010
Susu Sapi dan Gandum Bersifat Morfin bagi Penyandang Autis
Hal itu diutarakan dr Sjawitri P Siregar SpA(K) dalam Konferensi Nasional Autisme-1 pada hari ketiga, Jumat (4/7) di Jakarta. Hal itu terjadi karena kebocoran saluran cerna (leaky gut syndrome) sebagai akibat tidak seimbangnya bakteri dan jamur. Ketidakseimbangan itu muncul akibat pemakaian antibiotika yang berlebihan sehingga meningkatkan permeabilitas usus. Antibiotika akan membunuh bakteri flora usus seperti laktobasilus. Sementara, jamur terutama candida akan tumbuh berlebihan sehingga selaput dinding usus terganggu.
Keadaan itu menyebabkan berbagai makromolekul protein susu sapi atau zat toksik melewati dinding saluran cerna ke darah. Akibatnya bisa terjadi gangguan susunan dan fungsi otak yang mengakibatkan gangguan tingkah laku, gangguan perkembangan dan gangguan proses belajar. Selain itu, kata Sjawitri, pada anak-anak ASD terjadi gangguan enzim pencernaan, seperti enzim Dipeptidylpeptidase IV (DPP IV) yang berfungsi menguraikan ikatan peptide, sehingga pencernaan protein terganggu.
"Protein susu sapi dan protein gandum tidak akan tercerna sempurna. Kedua peptide itu akan diserap saluran cerna anak autis yang mempunyai kerusakan barier selaput lendir usus, dan di dalam otak bertindak sebagai neurotransmiter palsu dan berikatan dengan reseptor morfin sehingga terjadi gangguan perilaku," katanya.
Ia menjelaskan, susu sapi adalah antigen pertama yang dikenal bayi. Protein susu sapi terdiri atas 25 macam fraksi, yang masing-masing dapat menyebabkan reaksi simpang setelah minum susu sapi atau alergi.
Alergi susu sapi lebih sering terjadi pada usia tahun pertama dari kehidupan karena selain faktor genetik, faktor barier selaput lendir usus (mukosa) masih imatur, serta faktor lingkungan turut berperan. Angka kejadian alergi susu sapi meningkat di berbagai negara dengan meningkatnya penyakit alergi seperti asma, rinitis, dan dermatitis atopik. Di Poliklinik Alergi Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RSCM sekitar 2,4 persen anak alergi susu sapi.
Diet Kasein
Sjawitri menyebutkan, alergi susu sapi muncul karena kelainan imunologi (kekebalan tubuh) yang disebut juga hipersensitivitas. Kelainan imunologi itu terdiri atas empat. Tipe I (IgE mediated), muncul segera dalam beberapa menit sampai dua jam setelah minum susu sapi. Tipe II, disebut antigen antibodi dependent cytotoxic yang menimbulkan gejala trombositopeni setelah beberapa jam. Tipe III, merupakan reaksi kompleks antigen antibodi, gejalanya muncul setelah 1-24 jam minum susu sapi. Tipe IV, onset, yang gejalanya muncul setelah beberapa jam sampai beberapa hari minum susu sapi.
Ia menambahkan, pencegahan alergi bisa dilakukan sejak usia bayi masih dalam kandungan. Ia menganjurkan ibu hamil yang alergi untuk menghindari susu sapi. Juga tidak merokok.
Bila air susu ibu (ASI) tidak bisa diberikan, dianjurkan bayi minum susu sapi hipoalergenik atau susu sapi hidrolisat sampai umur enam bulan. Si ibu juga minum susu sapi yang sama. Karena, susu sapi hidrolisat mempunyai ukuran molekul yang lebih kecil.
Pada kesempatan itu, dr Rini P Parmadji SpJP yang mempunyai seorang anak penyandang autis, mengaku menerapkan diet pada anaknya sejak berusia 17 bulan. Diet yang dilakukan meliputi, diet bebas kasein dan gluten, diet bebas gula, diet bebas jamur, diet bebas zat aditif, diet bebas fenol dan salisilat, diet rotasi, pemberian suplemen makanan. Di samping itu, cara memasak dan penyediaan makanan pun diatur. Seperti, makanan tidak dimasak pada wadah terbuat dari aluminium.
Setelah tiga bulan anaknya diet gluten dan kasein (menghindarkan semua produk makanan seperti biskuit, roti, makanan kemasan, susu sapi, keju, permen susu) terjadi perubahan. Anaknya lebih tenang, mampu berbicara, dan cara berlarinya lebih mantap
Terapi Makanan Buat Anak Autis
Melalui makanan, orang tua dapat melakukan terapi bagi anak-anak dengan gejala autis. Makanan yang disajikan tentu terdiri atas bahan-bahan yang bebas dari zat-zat pemicu autisme.
Dari hasil berbagai penelitian diketahui bahwa terapi bagi gangguan autisme dilakukan secara komprehensif, yaitu terapi biomedikal. Pengaturan makan merupakan bagian dari terapi biomedikal.
Anak dengan autisme umumnya alergi terhadap makanan. Pengalaman dan perhatian orangtua dalam mengatur makanan dan mengamati gejala yang timbul akibat makanan tertentu sangat bermanfaat dalam terapi.
- Diet tanpa gluten dan kasein.
Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam keluarga wheat seperti tepung terigu, oat, barley. Sedangkan kasein merupakan protein yang terdapat dalam susu dan olahannya, seperti keju, dan yoghurt. Kedua bahan itu pada anak autisme dapat memicu masalah.
Makanan tradisional Indonesia bisa memberi solusi bagi anak autisme dalam menghindari gluten dan kasein. Untuk anak autis, orangtua bisa memilihkan nasi, mi dari tepung singkong, susu kedelai sayuran, buah segar, serta menghindari zat penyedap dan pewarna makanan.
- Diet untuk alergi & Intoleransi.
Anak autis umumnya menderita alergi berat. Makanan yang
menimbulkan alergi biasanya ikan, udang, susu coklat, gandum, dan banyak lagi. Untuk mengatur makan bagi anak yang alergi dan intoleransi makanan. :
- Perhatikan sumber penyebab.
- Hindari makanan pemicu alergi / intoleransi. Contohnya,
bila alergi telur, hindari makan telur, meski bukan harus dipantang seumur hidup. Dengan bertambahnya umur anak dapat dikenalkan lagi pada makanan tersebut sedikit demi sedikit.
Cara umum mengatur makan :
1. Berikan makan seimbang guna menjamin tubuh anak memperoleh zat gizi lengkap untuk keperluan pertumbuhan dan perbaikan sel-sel yang rusak dalam kegiatan sehari-hari.
2. Hindari konsumsi gula, khususnya pada anak yang hiperaktif dan menderita infeksi jamur. Berikan fruktosa sebagai pengganti gula karena penyerapannya lebih lambat dari gula (sukrosa).
3. Untuk memasak, pilih minyak sayur, minyak jagung, minyak biji bunga matahari, minyak kedelai.
4. Cukup mengkonsumsi serat dari sayuran dan buah.
5. Pilih makan yang bebas food additive ( pengawet, penambah rasa, warna, dan lain-lain)
6. Baca label makanan untuk mengetahui komposisi dan masa kadaluarsa.
7. Hindari junk food. Buat makanan sendiri agar aman.
Diet untuk anak autis
To: peduli-autis Puterakembara
Subject: Re: [Puterakembara] Diet untuk anak autis
Bu Reg,
sebetulnya lebih baik ibu mengerti dulu apa gunanya diet itu, dan mengapa harus diet. Ada beberapa tulisan di website Puterakembara mengenai diet ini, ada baiknya Ibu baca.
1. Diet tidak wajib bagi anak autis, tergantung kondisi pencernaan masing2 anak. Coba ibu sendiri lihat aja, apakah ada pengaruhnya. Kalau tidak ada yah, saya pribadi sih stop aja.
2. Cemilan Khusus ada di Jakarta Design center kalau gak salah lantai 5, bisa juga dengan Bu Silvi di bandung.
3. Diet gula ada hubungannya dengan bakteri dan jamur yang terdapat pada saluran pencernaan anak. Semuanya berkaitan sampai ke harus diet GFCF. Banyak saluran pencernaan anak rusak karena jamur dan bakteri jahat yang terdapat di dalam pencernaan anak2. Nah gula ini semacam pupuk bagi jamur dan bakteri itu. Biasanya apabila anak sampai harus diet GFCF, maka anak tersebut juga harus
diet gula.
4. Untuk buah2-an saya kurang mengerti tapi sebagian berhubungan dengan tingginya kandungan gulanya ( melon , karena sangat manis), dan ada juga buah yang dihindari karena mengandung phenol yang tinggi (apple, anggur).
Memang lebih baik Ibu membaca buku (anak2 dengan otak yang lapar) dan membaca
tulisan2 rekan2 milis yang lalu2, ada di website puterakembara. Lebih lengkap. Dengan mengerti tentang diet ini, maka Ibu lebih bisa mengambil keputusan apakah kira2 kondisi anak ibu membutuhkan diet GFCF atau tidak. Soalnya kalau kita tutup mata , udah diet aja biar aman, kasihan anaknya, ya gak?
Semoga membantu walau secuil
Regards
Dav
----- Original Message -----
From: RN
To: "peduli-autis Puterakembara"
Sent: Monday, January 08, 2007 5:59 PM
Subject: Re: [Puterakembara] Diet untuk anak autis
Mbak Reg,
Pengalaman saya, CFGF tidak berpengaruh langsung pada perubahan gejala autisnya. Adit (ADHD, 8 tahun) saya ikutkan diet CFGF dan rotasi makanan bukan karena ADHD nya tetapi karena dia sering sekali sesak napas dan muntah-muntah karena terlalu banyak lendir di saluran pernafasannya. Sebelum melakukan diet, hampir tiap bulan dia ke rumah sakit untuk disedot lendirnya yang diikuti dengan fisioterapi inhalasi untuk menghilangkan sisa lendirnya. Sampai-sampai dia membawa-bawa obat semprot asma, karena hawa dingin dan lembab menyebabkan pengeluaran lendir yang luar biasa. Pada saat itu saya sempat putus asa dan mencari pengobatan non-medis seperti akupuntur dan ramuan jamu-jamu tradisional buatan neneknya tapi tidak terlalu berhasil. Sekarang sejak mencoba diet CFGF, lendirnya menghilang, dia sudah bisa berenang pagi-pagi atau sore hari tanpa gangguan.
Selama empat bulan menjalani diet ini, saya perhatikan gejala ADHD nya relatif masih sama, tetapi karena gangguan kesehatannya sudah hilang, dia sudah lebih riang dan percaya diri. Jadi kesimpulan sementara saya (tolong dibetulkan kalau salah), diet ini membantu pemulihan kesehatannya, tetapi tidak berpengaruh langsung pada peningkatan pemusatan perhatian dan penurunan hiperaktivitasnya. Loncat-loncat, lari-lari, manjat-manjat pagar, pohon, kursi, dan apa saja yang bisa dipanjat sih masih tetap seru, mengoceh dan lompat-lompat topik pun masih tetap sama, makin susah dipotong malah (saya kira karena dia sudah bebas bernafas jadi lebih pede ngomongnya, tidak takut keselek lagi, ha ha ha). Tetapi memang berat badannya tidak mudah naik dan dibandingkan dengan kakak perempuannya yang tinggi besar, dia terhitung tinggi langsing (bukan kurus, karena "body mass" nya masih dalam kisaran normal).
Untuk Adit, terapi di pusat terapi dan di rumah tetap menjadi focus utama pengobatan ADHD nya. Akan tetapi tidak ada salahnya diet makanan dicoba untuk Andio, karena reaksi tiap anak berbeda-beda, ada yang sudah bertahun-tahun diet tapi tidak ada kemajuannya, ada yang baru beberapa bulan sudah banyak kemajuannya. Pada kasus Adit, diet bisa memperbaiki kondisi kesehatannya. Hiperaktivitasnya saya coba kendalikan dengan membuat dia menjadi capek, jadi saya dorong dia untuk tiap sore
bersepeda keliling kompleks, atau main bola, atau main basket, jadi energinya sudah cukup banyak berkurang dan malam harinya dia bisa tidur lebih awal, kalau tidak dia akan terus mengoceh dan beraktivitas sampai jam 2 pagi!
Mengenai makanan, memang susah karena sebagian besar bahan makanan mengandung susu sapi dan tepung terigu. Saya biasanya bawakan jajanan pasar buatan sendiri atau beli di toko kue sekitar rumah (seperti lemper, pisang goreng tepung beras, dll). Roti saya sudah tidak pernah beli lagi, kalau perlu untuk kue ulang tahun atau cake lebaran, saya memesan dari toko cake yang membuat cake khusus untuk anak autis. Susu sapi saya ganti dengan pediasure, jadi kebutuhan proteinnya masih tetap terjaga. Kalsium dari buah-buahan terutama pisang dan alpukat. Memang kita jadi agak rewel dalam memilih makanan, tapi sebaiknya memang semua makanan kalau bisa dibuat sendiri, termasuk sosis dan chicken nugget, tidak memakai MSG dan sama sekali tidak makan makanan kalengan. Gula saya kurangi karena memang menurut ilmu kesehatan, dalam jangka panjang terlalu banyak gula juga tidak baik, jadi bukan semata-mata untuk mengurangi hiperaktivitasnya. Agak repot memang tapi yang penting kesehatan Adit tetap terjaga baik.
Semoga membantu, maaf ini agak panjang, saya suka lupa kalau menulis e-mail, maklum, kata anak saya, saya cerewet sih.
Ran (mama Adit)
----- Original Message -----
From: DH
To: peduli-autis Puterakembara
Subject: Re: [Puterakembara] Diet untuk anak autis
Bu Ran,
kalau begitu sebetulnya yang harus dijalankan adalah diet allergy, bukan GFCF. Buktinya minum pediasure nggak apa2. (setahu saya pediasure juga mengandung susu sapi kan? mohon koreksi apabila saya salah).
Dan perbaikan yang didapat oleh Adit adalah perbaikan di bidang kesehatannya kan? bukan di ADHD nya kan? kalau dilihat dari ini, sudah jelas kalau allergy lah yang selama ini mengganggu kesehatan Adit.
Ada baiknya coba diperkenalkan kembali satu2 makanan yang selama ini nggak dikasih, dan lihat reaksi nya, sayang kan, kalau ternyata Adit boleh makan roti atau bolu.
Ada yang namanya diet eliminasi yah (waduh nggak yakin sih untuk namanya
heheheh), jadi caranya dicoba makanan yang dianggap bisa membuat Adit bermasalah, dan tunggu reaksinya dalam waktu 3 hari. Apabila dalam 3 hari Adit sehat2 aja, artinya makanan tersebut boleh dimakan. Nah terus deh ditambah satu lagi, lihat reaksinya 3 hari, terus begitu. Dengan demikian kita jadi bisa tau apa sebetulnya yang membuat Adit sakit, apa yang menjadi allergen (pemicu alergy) untuk Adit.
Regards
Dav
----- Original Message -----
From: RP
To: peduli-autis Puterakembara
Subject: Re: [Puterakembara] Diet untuk anak autis
Bu Ran,
makasih banyak sharingnya
Tapi yg paling saya suka bagian akhir dari sharing ini. Setelah ikutan milis ini ciri yg paling mendasar untuk ortu autis (bukan anaknya) adalah suka lupa kalau tulisannya di milis udah panjang buanget. Mau nanya kek, mau sharing kek atau mau kasih info kek...
Thanks banget ya.
----- Original Message -----
From: RN
To: peduli-autis Puterakembara
Subject: Re: [Puterakembara] Diet untuk anak autis
He he he, ya begitulah, suka lupa daratan kalo udah didepan computer.
Pak Dav, saya memang sudah merencanakan untuk mulai eliminasi makanan sesudah evaluasi terapi dan brain mapping Adit minggu depan ini. Terima kasih atas sarannya ya, memang kasihan sih dia sudah kepingin makan pizza.
salam
Ran
Jumat, 09 April 2010
Kartun Bagi Anak Penderita Autis
Denis Murphy (6 tahun) adalah salah satu anak yang ikut serta dalam percobaan tersebut. Setelah beberapa waktu, keluarganya mulai melihat terjadinya perubahan dalam diri Denis. Seperti seorang anak autis pada umumnya, ia sangat menyenangi kereta dan mobil. Tetapi, ia kesulitan untuk terhubung dengan emosi manusia.
Hal itu mungkin dikarenakan kendaran memiliki gerakan yang lebih mudah diperkirakan, sedangkan manusia tidak dapat diperkirakan. Seri animasi DVD itu dinamai The Transporters. Berkaitan dengan ketertarikan anak autis terhadap kendaraan, animasi tersebut menggambarkan wajah manusia pada gambar kartun kendaraan.
Proffesor Simon Baron-Cohen adalah direktur dari Pusat Penelitian Autisme (Autism Research Centre) di Universitas Cambridge. Ia berkata, "Kita telah menemukan cara bagi anak autis untuk mengatasi ketakutan mereka saat melihat wajah orang, sehingga mereka dapat mulai belajar mengenai bagaimana ekspresi bisa muncul. Hal ini juga merupakan cara untuk mempermudah mereka membaca wajah."
Terbukti Populer
Denis mulai menonton kartun sebelum Natal. Ia diminta untuk menonton selama 15 menit setiap hari sepanjang penelitian yang berlangsung selama 4 minggu. Saat pertama Denis menonton, ia sangat menyukai tayangan tersebut, sehingga ia menonton 15 episode sekaligus. Setiap episode memperkenalkan sebuah emosi baru, seperti kebahagiaan, kemarahan, ketakutan, kebaikan dan kebanggaan. Tayangan itu juga termasuk kuis interaktif yang membantu anak-anak untuk mempelajari emosi.
Ibunya, Alex Murphy, sangat kagum dengan hasil percobaan tersebut. Ia berkata, "Saya mengamati saat membacakan cerita (untuk Denis), apabila karakternya sedih, ia akan bersemangat dan menjelaskan alasannya. Bagi orang tua yang anaknya sangat tidak tertarik pada emosi atau tidak dapat mengenalinya dengan baik, sangat menyenangkan untuk melihat mereka mulai memahami sisi kehidupan yang satu itu."
Memfungsikan Tombol
Para orang tua lainnya menggambarkan hasil penelitian tersebut seperti memfungsikan sebuah tombol di dalam kepala anak-anak mereka .
Profesor Baron-Cohen berkata bahwa di akhir periode penelitian (4 minggu), terjadi perkembangan sebanyak 52% pada kemampuan anak-anak untuk mengenali dan menjelaskan emosi. "Mereka telah mencapai tingkatan yang sama sebagaimana anak yang berkembang pada umumnya pada tes pengenalan emosi. Hasil tersebut merupakan pendahuluan, tetapi merupakan hasil yang sangat menggembirakan - bahkan dalam jangka waktu yang sangat singkat, anak dengan autisme dapat memandang wajah (lawan bicaranya atau orang lain) dan mulai menyatakan informasi yang sesuai," katanya.
Animasi DVD tersebut dibuat dibawah Departemen Kebudayaan, Media dan Olah Raga dan saat ini diberikan kepada sekitar 30.000 keluarga yang memiliki anak penderita autis yang berusia 2-8 tahun. Lebih banyak tes lagi sedang direncanakan, dan masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa hasil penelitian tersebut memiliki keuntungan jangka panjang. Tetapi, para peneliti berharap mereka dapat membuat suatu perbedaan yang jelas bagi hidup anak-anak penderita autis.
Al-Quran Menenangkan Penderita Autis
Dalam usia lima tahun Hafiz sudah hafal Al-Quran. Ia kini menjadi tenang dengan diputarkan ayat-ayat suci itu. Padahal, Hafiz bicara saja belum pernah becus. Suatu saat, Fasila mengajak Hafiz serta ayahnya Ashim Muhammad yang bekerja di Uni Emirat Arab untuk umrah. Ada tujuan lain disamping umrah, Ashim ingin mempertemukan Hafid dengan idolanya, Syeikh Sudais.
Tapi, Ashim keburu membawanya ke masjid Ar-Ruwaiys di Mekah yang khusus menangani anak-anak cacat. Mereka semua dibuat kagum dengan kemampuan hafalan Hafiz yang luar biasa.
Ayat Al-Quran telah membuat ketenangan buat dirinya dan hafalan Al-Quran itu telah menghiburnya serta kedua orangtuanya.
Autism Disorder
Autisme (autism) merupakan gangguan pada sistem syaraf pusat yang berdampak pada gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi verbal- nonverbal dan perilaku tertentu yang cenderung terbatas, mengulang dan tidak mempunyai ketertarikan terhadap hal lainnya (baru).
Autisme mempunyai banyak gejala lainnya yang menyertai gangguan tersebut seperti permasalahan penggunaan bahasa, menjalin hubungan dan memiliki interpretasi yang berbeda dalam merespon lingkungan sekitarnya.
Autisme diartikan sebagai gangguan syaraf mental di awal perkembangan masa kanak-kanak, meskipun kadang diagnosa autisme itu sendiri tidak terdeteksi ketika sejak masa prasekolah atau masa sekolah. Gejala autisme kemungkinannya telah muncul ketika usia anak mencapai 12-18 bulan. Perilaku karakteristik autisme sendiri mudah terdeteksi pada usia 3 tahun, misalnya dengan mengetahui keterlambatan dalam berbicara atau penguasaan kosa kata pada masa prasekolah.
Keterlambatan anak menguasai bahasa sampai usia 5 tahun menjelang sekolah merupakan permasalahan yang sering terjadi pada anak-anak autisme, gejala-gejala yang tampak pada autisme dapat terlihat secara jelas pada usia 4-5 tahun ketika anak mengalami permasalahan dalam berinteraksi sosial dengan usia sebayanya. Permasalahan tersebut akan terus berlanjut pada fase perkembangan selanjutnya, bahkan seumur hidupnya.
American Psychiatric Association (APA) mengklasifikasikan Autisme dalam gangguan perkembangan pervasif (pervasive development disorders; PDD) bersama dengan beberapa gangguan lain; sindrom Asperger, gangguan disintegratif pada anak, gangguan Rett, dan gangguan perkembangan pervasif yang tidak terdefinisikan. Kesemua gangguan tersebut merupakan gangguan yang berhubungan dengan permasalahan komunikasi, sosial interaksi, perilaku terbatas, mengulang. Gangguan-gangguan tersebut kadang disebut sebagai gangguan spektrum autisme (autism spectrum disorders; ASDs).
Disebut sebagai gangguan spektrum autisme karena beberapa gejala umum mempunyai kemiripan, meskipun gangguan tersebut berbeda antara setiap orang, namun gangguan tersebut pada area yang sama; sosialisasi, komunikasi dan perilaku. Kecuali pada sindrom Asperger, anak tidak memiliki hambatan dalam berkomunikasi.
Individu dengan gangguan autisme ringan dapat belajar untuk mandiri, namun beberapa diantara penderita autisme harus secara terus-menerus mendapatkan perawatan selama hidupnya. Sejauh ini belum ditemukan obat yang efektif untuk menyembuhkan gangguan autisme secara total.
KESEHATAN ANAK Merkuri Bisa Menjadi Penyebab Autis
Bisakah Autisme Disembuhkan?
tentang definisi dan gejala autisme pada anak. Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang luas. Menurut
Karen Siff Exkorn dalam bukunya "The Autism Sourcebook" , anak yang berada pada spektrum autisme yang berat
(severe) bisa saja tidak berbicara dan juga memiliki gejala retardasi mental atau ada anak yang tidak berbicara tapi
memiliki IQ yang tinggi. Sedangkan anak yang berada pada spektrum ringan bisa saja bersekolah reguler dan bahkan
bisa mencapai kriteria di mana anak tersebut sudah tidak tergolong dalam kriteria autisme. Oleh karena itu, autisme
sekarang lebih sering dikatakan sebagai Autism Spectrum Disorder atau ASD. Terdapat banyak gejala yang terlihat
pada anak autisme, tetapi ada tiga ciri umum yaitu terdapat gangguan interaksi sosial, kesulitan dalam memahami dan
berkomunikasi secara verbal, dan terdapat pola perilaku yang "tidak lazim", cenderung terbatas dan dilakukan berulangulang.
Individu autisme tetap mengalami perasaan emosional yang sama dengan individu lainnya. Kesulitan muncul
dari ketidakmampuan mereka dalam mengenali dan memahami perasaan orang lain dan mengekpresikan empati
terhadap perasaan orang lain tersebut. Masalah lain yang cukup signifikan yang memengaruhi kemampuan bicara
dan pola perilaku aneh yang terjadi pada anak autisme adalah gangguan fungsi sensorik. Adriana S Ginanjar dalam
bukunya "Panduan Praktis Mendidik Anak Autis: Menjadi Orang Tua Istimewa" menulis bahwa gangguan fungsi sensorik
yaitu ketidakmampuan mereka untuk menyaring dan mengolah informasi dari luar sehingga menyebabkan mereka
bereaksi berlebihan terhadap rangsangan yang masuk ke panca indera. Secara keseluruhan, masalah sensorik besar
dampaknya pada berbagai kesulitan yang mereka alami terutama dalam perkembangan bicara, keterampilan motorik
halus, dan kemampuan akademik. Harapan Orangtua Tidak terasa sudah hampir 10 tahun, hingga hari ini, kami
membesarkan dan mendidik anak kami yang menderita autism, hingga berbagai macam kemampuan sudah dimilikinya.
Saya teringat pada saat awal didiagnosa kemudian memulai proses terapi yang tidak mudah bagi kami semua. Pada
saat itu keinginan saya cuma satu, yaitu ingin dia berbicara. Tetapi setelah melalui proses terapi dan memahami
bahwa banyak hal yang harus dipenuhi sebelum dia bisa berbicara, maka keinginan saya berubah menjadi keinginan dia
memahami sesuatu secara konseptual. Saya baru saja membaca dalam sebuah majalah bahwa manusia dalam
memproduksi satu kata membutuhkan koordinasi 70 otot di seputar wajah. Dapat dibayangkan betapa sulitnya
penyandang autisme dalam mempelajari bagaimana memproduksi satu kata saja, apalagi berbicara dalam kalimat! Kami
melakukan terapi wicara yang intensif yang dipantau oleh seorang ahli terapi wicara yang berdomisili di Bogor. Beliau
mengajarkan teknik-teknik mengurut seputar wajah dan menyikat bagian dalam mulut, serta bagaimana membantu anak
untuk memproduksi bunyi dalam bentuk suku kata dan kata. Kembali kepada keinginan atau harapan saya yang
semakin meningkat, setelah anak saya bisa memproduksi beberapa kata dan berkomunikasi sederhana dengan
menggunakan PECS (Picture Exchange Communication Systems), saya ingin anak saya bisa membaca agar bisa
membantu mengembangkan bahasanya dalam berkalimat nantinya. Nah, mulailah pengembaraan uji-coba beberapa
teknik membaca yang rasanya tiada berujung. Kami memulai dari metode konvensional mengajarkan suku kata dan
merangkai suku kata, tetapi metode tersebut tidak efektif bagi anak saya. Kemudian kami mencoba metode sight reading
atau membaca global, yaitu langsung mengenalkan kata dengan gambarnya, setelah itu barulah secara bersamaan
mengenalkan suku kata, agar bisa membaca kata yang tidak berarti sekalipun. Ternyata metode ini sangat efektif dan
akhirnya anak saya bisa membaca. Setelah bisa membaca, harapan dan keinginan saya semakin meningkat,
selanjutnya saya ingin dia bisa berbicara dalam kalimat yang cukup panjang. Belum selesai dengan ini, keinginan dan
harapan saya berpindah ke area sosial yang masih serba kekurangan, misalnya bagaimana menahan emosi jika berada
di tempat umum, tidak berteriak seenaknya, tidak marah jika keinginannya tidak dikabulkan, tidak mengambil makanan
dan minuman orang lain, tidak mendorong orang jika berada di tangga, harus ke wc pria jika ke toilet umum, tidak boleh
memegang pipi orang lain selain ibu dan ayah, tidak buka baju dan celana di tempat umum, tidak mengambil barang
sebelum dibayar, dan masih banyak lagi aturan-aturan sosial yang harus dipelajari. Tidak berhenti sampai di sini,
harapan dan keinginan saya hari ini adalah bagaimana anak saya bisa mengatasi gejolak hormonal menjelang akil balig
nantinya. Sudah banyak cerita bahwa remaja autistik juga mengalami perubahan hormonal yang sama dengan remaja
lainnya tetapi dengan segala keterbatasannya masa ini bisa merupakan masa yang sangat bergejolak baik bagi anak
maupun orangtua. Saya teringat membaca dalam kata pengantar buku "Panduan Praktis Mendidik Anak Autis:
Menjadi Orang Tua Istimewa", Adriana S Ginanjar mewawancarai Donna Wiliams, individu autisme dewasa di Australia
yang sudah menikah. Beliau menanyakan bagaimana orangtua dapat memberikan penanganan yang terbaik bagi anakanak
autisme, Donna Williams memberikan tiga saran singkat: 1) Lupakan semua yang orangtua ketahui; 2) Lupakan
semua yang orangtua inginkan untuk diri sendiri; 3) Lupakan apa yang dinilai penting oleh masyarakat. Saya pikir
pernyataan ini membuat kita sebagai orangtua harus kembali berpikir bahwa apakah yang kita lakukan untuk anak atau
untuk keinginan diri sendiri. Sudahkan kita pertimbangkan keinginan dan perasaan anak dalam mencapai target
kemajuan yang sudah kita tentukan? Sembuh atau Perbaikan? Pada beberapa buku yang saya baca di atas,
semua mengatakan bahwa autisme tidak bisa disembuhkan. Bahkan dalam website World Autism Awareness Day 2009
(www.worldautismawarenessday) dikatakan bahwa autisme belum bisa "disembuhkan" dan secara medis faktor
penyebabnya belum terdeteksi. Penggunaan kata "sembuh" bagi beberapa orang mempunyai pengertian yang
mungkin berbeda. Saya sendiri pada awal anak saya didiagnosa dan memulai terapi, mempunyai harapan dan keinginan
yang besar agar anak saya sembuh dalam arti bisa berbicara, berkomunikasi, memiliki teman, bisa bersekolah umum
Anak autis juga bisa belajar
Untuk menentukan terapi yang paling cocok bagi anak autis pada awalnya perlu dilakukan asesmen atau pemeriksaan menyeluruh terhadap anak itu sendiri. Asesmen itu bertujuan untuk mengetahui derajat keparahan, tingkat kemampuan yang dimilikinya saat itu, dan mencari tahu apakah terdapat hambatan atau gangguan lain yang menyertai. Biasanya terapi yang diberikan adalah terapi untuk mengembangkan ketrampilan-keterampilan dasar seperti, ketrampilan berkomunikasi, dalam hal ini keterampilan menggunakan bahasa ekspresif (mengemukakan isi pikiran atau pendapat) dan bahasa reseptif (menyerap dan memahami bahasa). Selain itu, terapi yang diberikan juga membantu anak autis untuk mengembangkan ketrampilan bantu diri atau self-help, ketrampilan berperilaku yang pantas di depan umum, dan lain-lain. Dengan kata lain, terapi untuk anak autis bersifat multiterapi.
2. Apa kendala paling sulit pada saat terapi anak autis?
Kendala pada terapi anak autis tergantung pada kemampuan unik yang ia miliki, ada anak autis yang dapat berkomunikasi, ada yang sama sekali tidak. Namun sebagian besar anak autis memiliki keterbatasan atau hambatan dalam berkomunikasi sehingga ini menjadi kendala besar saat terapi. Anak belum dapat mengikuti instruksi guru dengan baik. Bahkan anak kadang tantrum saat diminta mengerjakan tugas yang diberikan. Terkadang anak autis suka berbicara, mengoceh, atau tertawa sendiri pada waktu belajar.
3. Bagaimana sikap anak autis saat menjalani terapi?
Biasanya anak autis memiliki hambatan atau keterbatasan dalam berkomunikasi. Hal tersebut terlihat dari perilaku mereka yang cenderung tidak melihat wajah orang lain bila diajak berinteraksi, sebagian besar kurang memiliki minat terhadap lingkungan sekitar, dan sebagian cenderung tertarik terhadap benda dibandingkan orang.
4. Apa perubahan yang diharapkan setelah terapi?
Pada akhirnya, anak autis diharapkan dapat memiliki berkomunikasi, yang tadinya cenderung bersifat satu arah menjadi dua arah. Dalam artian ada respon timbal balik saat berkomunikasi atau bahasa awamnya “nyambung”. Kemudian perubahan lain yang juga diharapkan adalah memiliki ketrampilan bantu diri, kemandirian, serta menyatu dan berfungsi dengan baik di lingkungan sekitarnya. Hasil yang menggembirakan tentu sangat diharapkan orang tua anak penderita autis. Ini terlihat bila anak tersebut sudah dapat mengendalikan perilakunya
sehingga tampak berperilaku normal, berkomunikasi dan berbicara normal,
serta mempunyai wawasan akademik yang cukup sesuai anak seusianya.
5. Seberapa cepat perubahan akan terlihat?
Perubahan atau kemajuan yang terjadi tentunya bersifat individual. Hal tersebut tergantung pada hasil asesmen, gaya belajar anak autis, dan intensitas dari terapi atau pendidikan yang diberikan serta kerjasama antara orangtua, pengasuh anak dengan para pendidik, terapis atau ahli kesehatan
6. Bagaimana mengenai pendidikan anak autis?
Perlu diketahui bahwa setiap anak autis memiliki kemampuan serta hambatan yang berbeda-beda. Ada anak autis yang mampu berbaur dengan anak-anak ’normal’ lainnya di dalam kelas reguler dan menghabiskan hanya sedikit waktu berada dalam kelas khusus namun ada pula anak autis yang disarankan untuk selalu berada dalam kelas khusus yang terstruktur untuk dirinya. Anak-anak yang dapat belajar dalam kelas reguler tersebut biasanya mereka memiliki kemampuan berkomunikasi, kognitif dan bantu diri yang memadai. Sedangkan yang masih membutuhkan kelas khusus biasanya anak autis dimasukkan dalam kelas terpadu, yaitu kelas perkenalan dan persiapan bagi anak autis untuk dapat masuk ke sekolah umum biasa dengan kurikulum umum namun tetap dalam tata belajar anak autis, yaitu kelas kecil dengan jumlah guru besar, dengan alat visual/gambar/kartu, instruksi yang jelas, padat dan konsisten, dsb).
7. Bagaimana metode belajar yang tepat bagi anak autis?
Metode belajar yang tepat bagi anak autis disesuaikan dengan usia anak serta, kemampuan serta hambatan yang dimiliki anak saat belajar, dan gaya belajar atau learning style masing-masing anak autis. Metode yang digunakan biasanya bersifat kombinasi beberapa metode. Banyak, walaupun tidak semuanya, anak autis yang berespon sangat baik terhadap stimulus visual sehingga metode belajar yang banyak menggunakan stimulus visual diutamakan bagi mereka. Pembelajaran yang menggunakan alat bantu sebagai media pengajarannya menjadi pilihan. Alat Bantu dapat berupa gambar, poster-poster, bola, mainan balok, dll. Pada bulan-bulan pertama ini sebaiknya anak autis didampingi oleh seorang terapis yang berfungsi sebagai guru pembimbing khusus
8. Pengajar seperti apa yang dibutuhkan bagi anak autis?
Pengajar yang dibutuhkan bagi anak autis adalah orang-orang yang selain memilii kompetensi yang memadai untuk berhadapan dengan anak autis tentunya juga harus memiliki minat atau ketertarikan untuk terlibat dalam kehidupan anak autis, memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, dan kecenderungan untuk selalu belajar sesuatu yang baru karena bidang autisma ini adalah bidang baru yang selalu berkembang.
9. Suasana belajar seperti apa yang dibutuhkan anak autis?
Tergantung dengan kemampuan dan gaya belajar masing-masing anak autis. Ada anak autis yang mencapai hasil yang lebih baik bila dibaurkan dengan anak-anak lain, baik itu anak ’normal’ maupun anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya. Ada anak autis yang lebih baik bila ditempatkan pada suasana belajar yang tenang, tidak banyak gangguan atau stimulus suara, warna, atau hal-hal lain yang berpotensi mengalihkan perhatian.
10. Apa saja yang diajarkan dalam pendidikan anak autis?
Komunikasi (bahasa ekspresif dan reseptif), ketrampilan bantu diri, ketrampilan berperilaku di depan umum, setelah itu dapat diajarkan hal lain yang disesuaikan dengan usia dan kematangan anak serta tingkat inteligensi,.
11. Sampai umur berapa tahun anak autis mendapat pendidikan khusus?
Semua itu sekali lagi tergantung pada kemampuan anak, gaya belajar anak, serta sejauh mana kerjasama antara orangtua atau pengasuh dengan pendidik atau terapis.
12. Umur berapa anak sudah dapat dilepas masuk ke sekolah umum?
Lagi-lagi hal ini tergantung pada kemampuan anak.
13. Berapa besar kemungkinan anak autis berbaur dengan murid lain di sekolah biasa?
Kemungkinan selalu ada. Akan tetapi semua itu tergantung pada kemampuan anak autis tersebut dan apakah sistem pendidikan atau fasilitas di sekolah ’biasa’ itu mendukung berbaurnya anak autis dengan murid-murid lain dalam kelar reguler.
14. Apakah pada akhirnya anak autis dapat hidup di lingkungan umum tanpa perlakuan khusus?
Untuk beberapa kasus yang amat jarang terjadi (sampai saat ini), ada individu dengan autisma dengan kemampuan berkomunikasi yang memadai, tingkat inteligensi yang memadai, serta pendidikan dapat mendukung dirinya untuk mandiri dan berbaur dengan lingkungan tanpa perlakuan khusus. Hal ini bergantung pada faktor internal (diri anak autis sendiri) dan faktor eksternal, yaitu lingkungan, apakah sistem di lingkungan mendukung atau memungkinkan anak autis untuk dapat berfungsi secara baik dalam kesehariannya.
Bentuk Anak Autis Berpikir Mandiri
Membesarkan anak autis memang butuh kesabaran yang tinggi. Selain itu, orangtua juga harus menerapkan metode yang tepat untuk membuat mereka menjadi pribadi yang mandiri.
MEMBESARKAN anak autis memang butuh kesabaran yang tinggi. Selain itu, orangtua juga harus menerapkan metode yang tepat untuk membuat mereka menjadi pribadi yang mandiri. Intinya adalah diagnosa akurat, pendidikan tepat, dan dukungan kuat.
Selama ini begitu banyak stigma negatif tentang autis beredar di masyarakat. Ada yang bilang autis disebabkan santet, autis hanya diderita oleh orang kaya, autis itu sama dengan gila, dan autis itu menular. Stigma tersebut muncul karena pemahaman masyarakat tentang autis ini masih sangat minim.
"Sebenarnya kita tidak juga harus menyalahkan masyarakat luas," tandas seorang ibu dari anak autis sekaligus pendiri Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) Gayatri Pamoedji SE MHc. Malah, Gayatri mengatakan bahwa tidak sedikit juga orang yang mengatakan autis itu adalah penyakit. Padahal yang benar ialah, anak autis adalah anak yang mengalami gangguan dalam perkembangannya.
"Autis bukan penyakit, autis itu kondisi," tuturnya dalam acara temu media bertema "Menciptakan Masa Depan Mandiri bagi Anak Penyandang Autis" yang diadakan oleh MPATI, belum lama ini. Disarankan oleh Gayatri, segera tangani anak autis dengan benar, pastikan bahwa mereka mendapatkan pengasuhan yang tepat. Untuk menangani anak autis, inti dari penanganan itu ialah diagnosa, pendidikan, dan dukungan.
Dalam hal diagnosa, dibutuhkan diagnosa yang tepat dan akurat oleh dokter ahli. Di mana yang bisa dijadikan patokan bahwa seorang anak mengalami autis, bisa dilihat dari tujuh ciri anak autis, dan jika anak mengalami dua atau lebih dari ciri tersebut, maka bisa dikatakan anak tersebut alami autis.
"Lakukan sedini mungkin karena gejala autisme biasanya terlihat sebelum anak mencapai usia tiga tahun," tutur wanita yang juga pendiri Sekolah Pantara untuk pelatihan para guru dan membuat kurikulum sekolah untuk anak-anak dengan AD/HD.
Selain itu, pendidikan tepat juga harus diberikan untuk membentuk anak autis menjadi mandiri. Gayatri menuturkan, jika anak autis diberikan pendidikan yang tepat, maka mereka mampu mandiri, dapat mengerti dan mengikuti perintah, mampu untuk duduk mendengarkan, serta patuh menunggu giliran.
"Dan itu semua merupakan kemampuan dasar yang sebaiknya dikuasai anak autis sebelum masuk sekolah," ujar wanita yang mengambil gelar sarjana ekonomi di Universitas Indonesia ini.
Gayatri menyarankan, apabila ingin memasukkan anak ke sekolah, maka lakukan penanganan dini jauh sebelum anak ini pergi sekolah dan sebelum masuk pada usia sekolah. Ajarkan hal-hal kecil terlebih dahulu, seperti buang air sendiri, makan dan minum sendiri, hingga mampu memasang kancing baju sendiri.
"Ini sangat membantu gurunya kelak sehingga guru pun tidak kewalahan pada saat mereka masuk sekolah, di usia yang seharusnya mereka ada di sekolah," ujar wanita lulusan Master of Health Conseling, Curtin University of Technology, Perth, Australia Barat ini.
Dan yang terakhir adalah dukungan yang kuat. Tidak hanya dari orangtua atau keluarga, melainkan dari lingkungan sekitarnya termasuk dukungan media.
Dalam bukunya yang bertajuk 200 Pertanyaan & Jawaban Seputar Autisme, Gayatri menuliskan bahwa dalam merawat anak autis, orangtua sebaiknya saling berbagi tugas.
Pembagian tugas ini bisa dijalankan sesuai dengan kelebihan dari masing-masing karakter ibu atau ayah serta waktu yang mereka miliki. Semisal jika ayah pandai matematika, maka tugas mendampingi anak membuat pekerjaan rumah matematika dilakukan sang ayah.
Sama halnya dengan ibu, jika ibu lebih mahir dalam hal berkomunikasi, ibulah yang menjadi manajer dan juru bicara (jubir) anak untuk urusan sekolah. Idealnya, dilakukan komunikasi yang jujur dan terbuka. Atau ibu juga bisa membantu agar ayah lebih percaya diri dan mau lebih dekat dengan anak, misal dengan melakukan tugas menyenangkan, seperti bermain video gamebersama.
Di saat ayah bermain dengan anak, ibu bisa menggunakan waktu senggang untuk beristirahat. Buatlah daftar dari pekerjaan atau tugas yang diperlukan untuk mendidik anak. "Dengan penanganan terpadu, anak penyandang autis punya masa depan. Harapan selalu ada, pasti ada kemajuan jika orangtua mau terlibat," pesannya.
Sementara psikolog dari Universitas Indonesia, Dra Dyah Puspita MSi menyatakan bahwa pola asuh dalam merawat anak autis sama saja dengan anak biasa.
"Namun, ada beberapa aturan yang harus dipatuhi serta ada konsekuensi untuk perilaku baik atau buruk," ucap psikolog yang juga sebagai penanggung jawab pendidikan di Sekolah Khusus Autisma Mandiga. Dengan penuh semangat, percaya diri, serta kesabaran tinggi, maka yakinlah jika membesarkan anak autis menjadi pribadi yang mandiri bukanlah suatu impian belaka.
Tips Bepergian dengan Anak Autis
1. Jelaskan tempat tujuan
Sebelum bepergian, jelaskan kepada anak tentang tempat tujuan yang akan didatangi. Demikian saran dari Daniel Openden, Direktur Southwest Autism Research and Resource Center, Phoenix, AS. "Tunjukkan foto atau film mengenai lokasi yang akan dikunjungi. Ceritakan pula alasan datang ke tempat tersebut dan kegiatan yang akan dilakukan di sana," katanya.
2. Bepergian dengan pesawat
Jelaskan kepada awak pesawat mengenai kondisi anak Anda. Untuk mengusir rasa bosan di dalam pesawat, siapkan buku atau mainan untuk anak. Bawalah permen, terutama bila Anak tidak bisa berkomunikasi verbal dan tidak bisa mengungkapkan bila telinganya berdengung.
3. Menginap
Berencana untuk menginap di hotel selama liburan? Anda bisa mulai mengajarkan anak untuk menginap di tempat lain, bisa di rumah kerabat atau hotel di kota untuk satu malam agar anak terbiasa dengan suasana tidur yang lain. Agar anak tidak terlalu "kaget" dengan suasana baru, bawalah bantal atau selimut yang biasa dipakainya.
4. Keamanan
Untuk berjaga-jaga, kenakan tanda pengenal yang berisi data diri dan nomor telepon Anda. Bawalah juga foto anak untuk ditunjukkan pada polisi bila si kecil terpisah dari Anda.
5. Sesuaikan minat anak
Agar si kecil menikmati perjalanannya, ajak ia mengunjungi tempat-tempat yang sesuai dengan minatnya. Misalnya ke Sea World bila ia tertarik pada hewan laut atau ke kolam renang bila ia suka berenang. Hindari jadwal yang terlalu padat, luangkan waktu agar anak bisa bermain-main di kamar hotel agar si kecil tak terlalu lelah.
MENGATASI PERILAKU ANAK AUTIS
Ada beberapa pertanyaan yang harus kita jawab untuk tujuan mengidentifikasi penyebab munculnya perilaku mal adaptif pada anak autis:
1.Apa masalahnya?
2.Situasi dan tempat munculnya perilaku.
3.Pemicu dan waktu, Kapan ini terjadi ?.
4.Buta pikiran.
5.Memahami inti situasi.
6.Imajinasi.
7.Ketertarikan dan pengalaman sensori.
8.Interaksi sosial.
9.Komunikasi.
10.Emosi.
Lebih jelas mengenai form instrument identifikasi dan aplikasinya. karena materinya terlalu banyak dan sangat tidak mungkin saya posting semua disini. Semoga bermanfaat bagi semua.
Kasih Sayang, Kunci Menangani Anak Autis
Autisme merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang berat atau luas, dan dapat terjadi pada anak dalam tiga tahun pertama kehidupannya. Penyandang autis memiliki gangguan berkomunikasi, interaksi sosial, serta aktivitas dan minat yang terbatas serta berulang-ulang (repetitif). Gejalanya misalnya, anak tidak bisa bicara atau terlambat bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti, tidak mau kontak mata, tidak mau bermain dengan teman sebaya.
Ada juga yang gemar melakukan aktivitas berulang-ulang tanpa mau diubah, terpukau pada bagian-bagian benda, seperti senang melihat benda berputar, jalan berjinjit, menatapi telapak tangan, serta berputar-putar. Hal tersebut membuat anak autis seperti hidup pada dunianya sendiri.Metode yang sering diterapkan untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, yaitu Applied Behavior Analysis (ABA) atau metode bivavioristik yang dikenalkan Prof Dr Lovaas di Amerika Serikat. Metode bertujuan membentuk atau menguatkan perilaku positif anak autis dan mereduksi perilaku negatifnya. Namun, pada pelaksanaannya tidak jarang terapis menerapkannya dengan cara-cara yang relatif keras."Memang benar harus tegas dan konsisten. Tetapi juga harus telaten, sabar, dan penuh kasih sayang. Prinsipnya mengajarkan dengan perasaan. Metode ABA sebenarnya tidak keras seperti itu. Dengan pendekatan lebih manusiawi, kita bisa membentuk perilaku positif pada anak autis," kata Hamidah.
Menurut dia, apa yang diajarkan terapis harus dilanjutkan orangtua di rumah. Tanpa peran orangtua itu bisa sia-sia. "Waktu di tempat terapi paling hanya empat jam. Sisanya ketelatenan dan kesabaran orangtua sangat amat penting demi kesembuhan dan perkembangan si anak," tegas Hamidah.
Namun, sejauh yang diketahuinya biaya terapi di berbagai klinik terapi di Indonesia masih relatif mahal sehingga hanya mampu menjangkau kalangan mampu.
Terapi Gelombang Otak Untuk Anak Autis
Nama Produk: Terapi Autis
Ukuran Keseluruhan: 655 MB Format MP3 dan WAV + Ebook petunjuk penggunaan dan Ebook keterangan isi produk.
Dalam CD Terapi Gelombang Otak Terapi Autis ini ada 4 versi :
-
First Edition Format WAV 302 MB Durasi: 30:00 Menit.
-
First Edition Format MP3 27,4 MB Durasi: 30:00 Menit.
-
Second Edition Format WAV 297 MB Durasi 29:30 Menit.
-
Second Edition Format MP3 27 MB Durasi 29:30 Menit.
Harga Rp 125.000,- (belum termasuk ongkos kirim)
Keterangan:
Orang tua dari seorang anak yang menderita autis umumnya rela membayar berapapun asalkan anaknya bisa disembuhkan. Namun seringkali sangat sulit untuk menemukan terapi yang tepat untuk menyembuhkan atau paling tidak meringankan beban orang tua dan anak penderita autis.
Autisme masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sepenuhnya oleh kedokteran. Para pakar belum sepakat soal penyebab penyakit ini. Namun, sebagian pakar setuju bahwa sindrom autis terjadi karena kelainan pada otak.
Hingga kini, bisa tidaknya autis autis disembuhkan (total) juga masih menjadi pertentangan dalam dunia kedokteran dan psikologi. Namun, orang tua hendaknya harus mencoba berbagai terapi. Setidaknya dengan terapi keadaan si anak lebih baik.
Saat ini, ada berbagai terapi autis, baik yang diakui oleh dunia medis maupun yang masih bedasarkan disiplin ilmu tradisional. Macam-macam terapi autis diantaranya:
- Terapi akupunktur. Metode tusuk jarum ini diharapkan bisa mensimulasi sistem saraf pada otak hingga dapat bekerja kembali.
- Terapi musik. Lewat terapi ini, musik diharapkan memberikan getaran gelombang yang akan berpengaruh terhadap permukaan membran otak. Secara tak langsung, itu akan turut memperbaiki kondisi fisiologis. Harapannya, fungsi indera pendengaran menjadi hidup sekaligus merangsang kemampuan berbicara.
- Terapi balur. Banyak yang yakin autisme disebabkan oleh tingginya zat merkuri pada tubuh penderita. Nah, terapi balur ini bertujuan mengurangi kadar merkuri dalam tubuh penyandang autis. Caranya, menggunakan cuka aren campur bawang yang dilulurkan lewat kulit. Tujuannya melakukan detoksifikasi gas merkuri.
- Terapi perilaku. Tujuannya, agar sang anak memfokuskan perhatian dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Caranya dengan membuat si anak melakukan berbagai kegiatan seperti mengambil benda yang ada di sekitarnya.
- Terapi anggota keluarga. Orangtua harus mendampingi dan memberi perhatian penuh pada sang anak hingga terbentuk ikatan emosional yang kuat. Umumnya, terapi ini merupakan terapi pendukung yang wajib dilakukan untuk semua jenis terapi lain
- Dan terakhir, adalah terapi lumba-lumba. Telah diketahui oleh dunia medis bahwa di tubuh lumba-lumba teerkandung potensi yang bisa menyelaraskan kerja saraf motorik dan sensorik pendeerita autis. Sebab lumba-lumba mempunyai gelomba sonar (gelombang suara dengan frewkuensi tertentu) yang dapat merangsang otak manusia untuk memproduksi energi yang ada dalam tulang tengkorak, dada, dan tulang belakang pasien sehingga dapat membentuk keseimbangan antara otak kanan dan kiri. Selain itu, gelombang suara dari lumba-lumba juga dapat meningkatkan neurotransmitter.
Metode Penyembuhan Baru bagi Anak Autis
Autis merupakan kelainan psikis yang dimulai sejak anak-anak sampai dewasa karena kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi yang kurang. Autis bisa dialami siapa saja dengan kondisi lingkungan sosial yang beraneka ragam. Bill Gates adalah salah satu contoh penderita autis.
Tujuan utama orang tua melakukan terapi terhadap anak-anak mereka yang menderita autis adalah bahwa mereka menginginkan anak-anak dapat hidup normal kembali seperti anak-anak pada umumnya yang dapat berkomunikasi secara normal. Hal tersebut akan menjadi sulit jika anak-anak mereka tidak dapat berkomunikasi secara verbal.
Peneliti dari Northwestern University menemukan metode pengajaran baru bagi anak-anak penderita autis agar dapat berkomunikasi yang disebut dengan virtual peer.
Menurut Justine Cassell, professor ilmu komunikasi dan teknik elektro, metode baru ini dapat bekerja secara baik dan dapat memberikan terapi yang optimal pada anak-anak penderita autis. Cassell mengatakan bahwa anak-anak autis dapat berkomunikasi/bercakap-cakap dua arah dengan virtual peer.
Kenali Lebih Dekat Anak Autis
APAKAH buah hati Anda memiliki rasa tertarik pada dunia lain? Atau apakah anak Anda sulit menatap mata lawan bicara? Bila iya, kemungkinan dia mengidap autisme. Segeralah bertindak.
Sepintas anak ini terlihat sangat normal, tetapi anak autis memiliki tingkah laku yang berbeda dari anak-anak lain. Penyebabnya tak lain karena sistem syaraf pusat mereka berkembang tidak sempurna sehingga mereka pun mengalami kesulitan dalam memahami bahasa, proses belajar, serta berkomunikasi. Butuh ketekunan serta kesabaran ekstra bagi para orangtua yang memiliki anak autis.
Direktur Intervention Services for Autism Development Delay Disorder (ISADD) yang berbasis di Australia, Jura Tender mengakui, betapa sulit mendeteksi autisme sejak dini. Karena secara fisik bayi tampak sehat-sehat saja. Seiring berjalannya waktu, orangtua hanya melihat sedikit saja perbedaan.
Misalnya anak tidak terlalu banyak bicara, tidak suka disentuh, dan posisi tubuhnya sering aneh. Masalahnya, banyak orangtua yang tidak terlalu memerhatikan sekaligus peduli akan hal itu. Mereka lantas menganggapnya sebagai suatu hal yang wajar. ”Padahal, orangtua seharusnya cepat bertindak dan hadapi kenyataan tersebut. Jangan sampai kondisi anak terlanjur parah hanya karena orangtua menganggapnya enteng,” ujar Jura mengingatkan.
Sedikitnya ada beberapa kriteria autisme yang dapat diperhatikan. Anak autis mengalami gangguan dalam interaksi sosial, di antaranya rendahnya kemampuan berinteraksi sosial melalui komunikasi nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi muka, dan gerakgerik tubuh. Anak pun tidak mampu berinteraksi sosial dalam kelompok selayaknya anak-anak seusianya.
Mereka juga tidak mampu memberikan reaksi secara sosial dan emosional atas apa yang terjadi. Misalnya tidak mampu menunjukkan simpati ketika orang lain bersedih ataupun tidak membalas ketika dipeluk. Anak autisme pun mengalami keterlambatan atau ketidakmampuan berbicara, bahasa yang digunakan cenderung berulang-ulang, kaku, khas, dan agak aneh. Mereka yang menderita autisme sering melakukan kegiatan, bertingkah laku, dan merasa tertarik pada sesuatu yang berulangulang serta terbatas. Seperti rasa tertarik yang cenderung abnormal dari segi fokus dan intensitas terhadap suatu kegiatan yang terbatas. Sebut saja kebiasaan me ngulang-ulang sebuah adegan dari film atau video secara terus-menerus atau berjalan tanpa henti dalam bentuk lingkaran.
Atau mungkin juga anak memiliki kebiasaan rutin yang harus diikuti dan sering kali tidak bermakna. ”Misalnya harus melalui jalan tertentu menuju ke sekolah atau hanya mau tidur dengan menggunakan baju tertentu,” kata Gayatri Pamoedji selaku pendiri Masyarakat Peduli Autisme Indonesia (MPATI) yang juga memiliki putra yang mengidap autis ini.
Sejatinya, autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak. Sering kali gejala tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Menurut sebuah penelitian di Amerika, autisme terjadi kurang lebih pada 10 anak dari 10.000 kelahiran. Kemungkinan terjadinya empat kali lebih sering pada bayi laki-laki dibandingkan perempuan.
Faktor genetik memang disebut sebagai salah satu kemungkinan terjadinya autisme. Namun, sampai sekarang belum ada penelitian lebih lanjut yang menyebutkan apakah faktor genetik ini berasal dari ayah atau ibu. Keduanya memiliki peluang yang sama. Hanya, sifat autis lebih terlihat nyata pada saudara sekandung lelaki dari pihak ibu maupun ayah, jika memang ada karakteristik autis pada keluarga tersebut.
Penyebab utama dari gangguan ini hingga saat kini memang masih terus diselidiki oleh para ahli. Kendati demikian, di samping faktor genetik, faktor-faktor berikut disebut-sebut sebagai pemicu penyakit ini, yakni keracunan logam berat, vaksinasi MMR (Mumps, Measles, Rubella), polusi lingkungan, alergi terhadap makanan tertentu seperti gandum dan produk susu, serta komplikasi sebelum dan setelah melahirkan.
Gayatri menyarankan orangtua yang memiliki anak dengan gangguan tersebut untuk melakukan terapi secara rutin. ”Menemukan terapi yang tepat bagi anak memang merupakan sebuah perjalanan panjang. Orangtua perlu mengetahui apa yang dibutuhkan dan apa yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya,” ujar wanita yang mengambil Master of Health Conselling dari Curtin University of Technology ini.
Terapi yang tepat, lanjut Gayatri, adalah terapi yang mengikis keterbatasan anak, melibatkan anak, sudah terbukti keabsahannya, dapat diukur hasilnya, mempertimbangkan kelebihan maupun keterbatasan, serta menggunakan hal-hal yang disukai oleh anak.
Terapi yang tepat justru akan membuat kehidupan keluarga lebih tidak stres karena anak sudah mulai mampu untuk mandiri dan berinteraksi dengan anggota keluarga.
Yang perlu orangtua ingat adalah, cocok atau tidaknya terapi untuk anak ditentukan oleh kebutuhan dan kemampuan sang anak. Jadi, sebaiknya orangtua mencari tahu, membuat daftar kebutuhan, serta keterbatasan dan kelebihan sang anak.
Untuk menjalani terapi ini, para ahli menyarankan agar anak autis diberikan terapi selama 25–40 jam dalam seminggu. Hal ini tidak menjadi masalah, sebab pada umumnya anak autis tidak mengalami gangguan perkembangan fisik sehingga tetap perlu diberi stimulasi.
Lamanya anak menjalani terapi, bisa dibilang hingga dia mampu mandiri dan berpartisipasi dalam lingkungan sosialnya. Semua ini ditentukan oleh kemampuan anak dan orangtua. Jika anak sudah mampu menerapkan atau mencapai target terapi tanpa harus diingatkan atau diarahkan, tidak hanya di kelas terapi tapi juga di rumah, maka dia terbilang sudah mampu dan kompeten.
Pendidikan Seks untuk Anak Autis
Padahal, anak-anak berkebutuhan khusus juga akan berkembang menjadi seorang remaja, mengalami masa puber, dan tertarik pada hal-hal yang berbau seksualitas. Itu sebabnya anak-anak autis tetap perlu mendapatkan pendidikan seks sejak dini.
Sementara itu, kebanyakan orangtua sering kali menghindari diskusi masalah seks dengan anak autis. Padahal, seorang remaja autis tidak punya pengetahuan yang cukup untuk mengerti soal seks karena keterbatasan kemampuan motorik dan perilaku.
Itu sebabnya banyak anak autis punya masalah dalam hal seksualitas, misalnya kebiasaan memegang kemaluan atau menyentuh bagian privat tubuh orang lain.
"Masalah-masalah tersebut biasanya baru disadari orangtua saat sudah menjadi masalah besar, misalnya anak terbiasa melakukannya di tempat umum. Ini karena orangtua tidak mencermati atau mengabaikan perilaku seks anaknya," ungkap Dra Dini Oktaufik, praktisi terapi perilaku.
Dini menuturkan, seorang anak autis juga bisa berkembang layaknya seorang anak normal, baik fisik maupun hormonal. "Mereka juga akan mengalami perkembangan seksual dan punya dorongan yang sama seperti remaja normal," ungkapnya.
Perlu dilatih
Tidak mudah memang mengajarkan seksualitas kepada anak berkebutuhan khusus seperti anak autis. Namun, bila diajarkan sesuai dengan tingkat pemahaman anak dan dilakukan secara berulang-ulang, maa anak akan mengerti.
"Seks adalah sesuatu yang alamiah dan dorongan ini dimiliki semua manusia. Tak perlu kaget jika anak masturbasi karena itu dorongan naluri. Yang penting, ajarkan anak agar tidak melakukannya di sembarang tempat," ungkap Dini di acara Tanya Jawab Autisme yang diadakan oleh Masyarakat Peduli Autis Indonesia (Mpati) di Jakarta, Sabtu (3/4/2010).
Dini menambahkan, sebelum mengajarkan hal-hal yang lebih rumit, seperti perubahan hormonal, yang pertama perlu dimiliki adalah kepatuhan anak. Misalnya, mengajari tentang penggunaan toilet, kebersihan badan, dan rasa malu.
"Anak juga perlu memahami privasi dan bagian-bagian tubuhnya sendiri. Apa yang tidak boleh dipandang ketika berbicara dengan orang lain, serta sentuhan yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang lain," paparnya. Untuk anak perempuan, ajarkan mengenai kebersihan saat menstruasi.
Sikap orangtua dan terapis terhadap seksualitas akan memengaruhi pemahaman anak terhadap seks. Untuk itu, Dini menyarankan agar pertama-tama orangtua dan terapis menghilangkan pikiran tabu mengenai seks. "Kita tidak cukup mengasuh anak, tapi juga harus mendidiknya menjadi individu yang mandiri," katanya.
Anak Autis
Memiliki anak yg menderita autis memang berat. Anak penderita autis seperti seorang yg kerasukan setan. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita tidak dapat mengendalikan emosinya. Kadang tertawa terbahak, kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tdk mampu mengendalikan dirinya sendiri & memiliki gerakan2 aneh yg selalu diulang2. Selain itu dia punya ritual sendiri yg harus dilakukannya pada saat2 atau kondisi tertentu.
Penelitian yg intensive di dunia medis pun dilakukan oleh para ahli. Dimulai dari hipotesis sederhana sampai ke penelitian klinis lanjutan. Dan setelah banyak membaca & mengamati, saya sebagai orang awam yg sederhana ini dapat menarik kesimpulan sementara, yaitu:
- Autis bukan karena keluarga (terutama ibu yg paling sering dituduh) yg tdk dapat mendidik penderita. Anak autis tidak memiliki minat bersosialisasi, dia seolah hidup didunianya sendiri. Dia tidak peduli dgn orang lain. Orang lain (biasanya ibunya) yg dekat dengannya hanya dianggap sebagai penyedia kebutuhan hidupnya. (Baca: Teory of Mind, yg ditulis oleh seorang autis).
- Jarang sekali anak autis yg benar2 diakibatkan oleh faktor genetis. Alergi memang bisa saja diturunkan, tapi alergi turunan tidak berkembang menjadi autoimun seperti pada penderita autis.
- Terjadi kegagalan pertumbuhan otak yg diakibatkan oleh keracunan logam berat seperti mercury yg banyak terdapat dalam vaksin imunisasi atau pada makanan yg dikonsumsi ibu yg sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yg tinggi.
- Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yg diperlukan dalam pertumbuhan otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya.
- Terjadi autoimun pada tubuh penderita yg merugikan perkembangan tubuhnya sendiri karena zat2 yg bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit. Sedangkan autoimun adalah kekebalan yg dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri yg justru kebal terhadap zat2 penting dalam tubuh & menghancurkannya.
- Akhirnya tubuh penderita menjadi alergi terhadap banyak zat yg sebenarnya sangat diperlukan dalam perkembangan tubuhnya. Dan penderita harus diet ekstra ketat dengan pola makan yg dirotasi setiap minggu. Soalnya jika terlalu sering & lama makan sesuatu bisa menjadikan penderita alergi terhadap sesuatu itu.
- Autis memiliki spektrum yg lebar. Dari yg autis ringan sampai yg terberat. Termasuk di dalamnya adalah hyper-active, attention disorder, dll.
- Kebanyakan anak autis adalah laki-laki karena tidak adanya hormon estrogen yg dapat menetralisir autismenya. Sedang hormon testoteronnya justru memperparah keadaannya. Sedikit sekali penderitanya perempuan karena memiliki hormon estrogen yg dapat memperbaikinya.
Memang berat & sangat sulit menangani anak penderita autis yg seperti kerasukan setan ini. Perlu beberapa hal yg perlu diketahui, dipahami & dilakukan, yaitu:
- Anak autis tidak gila & tidak kerasukan setan. Penanganan harus dilakukan secara medis & teratur.
- Penderita autis sebagian dapat sembuh dengan beberapa kondisi, yaitu: ditangani & terapi sejak dini; masih dalam spektrum ringan; mengeluarkan racun atau logam berat dalam tubuh penderita (detoxinasi).
- Perlu pemahaman & pengetahuan tentang autis & ditunjang oleh kesabaran & rasa kasih sayang dalam keluarga penderita. Terutama bagi suami-istri karena banyak kasus anak autis menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
- Dewasa ini penelitian yg berkesinambungan telah mencapai perkembangan yg luar biasa. Semakin besar harapan sembuh bagi penderita.
- Terapi harus dilakukan terus menerus tidak terputus walau pun tingkat perkembangan perbaikan kondisi penderita dirasa tidak ada.
- Diet harus terus dilakukan secara ketat, terus-menerus & sangat disiplin. Perbaikan kondisi penderita karena diet berlangsung sangat lambat, tetapi pelanggaran diet dapat menghancurkan semuanya dalam waktu yg sangat cepat.
Siapa yg tidak ingin anak autisnya dapat hidup mandiri, dapat berkarya & berprestasi baik serta dapat diterima di masyarakat? Kunci terpenting adalah dengan terus berdoa kepada Tuhan agar anak dapat diberi kesembuhan & keluarga diberi kemampuan, kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam membesarkan & mendampingi si anak penderita autis. Juga agar diberi jalan terbaik dalam kehidupan ini agar dapat membantu & mendukung proses perbaikan perkembangan penderita.
Apa yang sebaiknya anda lakukan?
Diagnosis akhir dan evaluasi keadaan anak sebaiknya ditangani oleh suatu tim dokter yang berpengalaman , terdiri dari ; dokter anak , ahli saraf anak, psikolog, ahli perkembangan anak, psikiater anak, ahli terapi wicara.
Tim tersebut bertanggung jawab dalam menegakan diagnosis dan memberi arahan mengenai kebutuhan unik dari masing – masing anak , termasuk bantuan interaksi sosial , bermain, perilaku dan komunikasi .
Gejala – gejala pada autisme mencakup ganggguan pada :
• Terlambat bicara atau tidak dapat berbicara
• Mengeluarkan kata – kata yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain yang sering disebut sebagai bahasa planet
• Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata – kata dalam konteks yang sesuai
• Bicara tidak digunakan untuk komunikasi
• Meniru atau membeo , beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian , nada , maupun kata – katanya tanpa mengerti artinya
• Kadang bicara monoton seperti robot
• Mimik muka datar
• Seperti anak tuli, tetapi bila mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat
2. gangguan pada bidang interaksi sosial
• Menolak atau menghindar untuk bertatap muka
• anak mengalami ketulian
• Merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk
• Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang
• Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan orang tersebut melakukan sesuatu untuknya.
• Bila didekati untuk bermain justru menjauh
• Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain
• Kadang mereka masih mendekati orang lain untuk makan atau duduk di pangkuan sebentar, kemudian berdiri tanpa memperlihatkan mimik apapun
• Keengganan untuk berinteraksi lebih nyata pada anak sebaya dibandingkan terhadap orang tuanya
3. gangguan pada bidang perilaku dan bermain
• Seperti tidak mengerti cara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan gerakan yang sama berulang – ulang sampai berjam – jam
• Bila sudah senang satu mainan tidak mau mainan yang lain dan cara bermainnya juga aneh
• Keterpakuan pada roda (dapat memegang roda mobil – mobilan terus menerus untuk waktu lama)atau sesuatu yang berputar
• Terdapat kelekatan dengan benda – benda tertentu, seperti sepotong tali, kartu, kertas, gambar yang terus dipegang dan dibawa kemana- mana
• Sering memperhatikan jari – jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, air yang bergerak
• Perilaku ritualistik sering terjadi
• Anak dapat terlihat hiperaktif sekali, misal; tidak dapat diam, lari kesana sini, melompat – lompat, berputar – putar, memukul benda berulang – ulang
• Dapat juga anak terlalu diam
4.gangguan pada bidang perasaan dan emosi
• Tidak ada atau kurangnya rasa empati, misal melihat anak menangis tidak merasa kasihan, bahkan merasa terganggu, sehingga anak yang sedang menangis akan di datangi dan dipukulnya
• Tertawa – tawa sendiri , menangis atau marah – marah tanpa sebab yang nyata
• Sering mengamuk tidak terkendali ( temper tantrum) , terutama bila tidak mendapatkan apa yang diingginkan, bahkan dapat menjadi agresif dan dekstruktif
5. gangguan dalam persepsi sensoris
• Mencium – cium , menggigit, atau menjilat mainan atau benda apa saja
• Bila mendengar suara keras langsung menutup mata
• Tidak menyukai rabaan dan pelukan . bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri dari pelukan
• Merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dengan bahan tertentu
BAGAIMANA MENDETEKSI ANAK MENGALAMI ADHD?
Terkadang kita melihat ada anak-anak yang terlihat sangat aktif dan tidak memperhatikan jika belajar di kelas. Namun, hal tersebut dapat saja merupakan sesuatu yang normal jika kita tilik dari usia mereka. Kita dapat mengarahkan pada diagnosa ADHD jika perilaku yang muncul tersebut sangat tidak sesuai dengan usia perkembangan mereka.
Terdapat beberapa kriteria dalam DSM-IV yang membantu kita melakukan deteksi terhadap anak-anak dengan gangguan ADHD. Seorang anak harus menampakkan beberapa karakteristik untuk dapat didignosa secara klinis mengalami ADHD.
Keparahan perilaku tersebut harus lebih sering muncul pada anak tersebut jika dibandingkan dengan anak-anak lain dalam tahap perkembangan yang sama
Waktu muncul paling tidak beberapa gejala uncul sebelum usia 7 tahun
Durasi perilaku harus sudah muncul paling tidak 6 bulan sebelum evaluasi
Dampak gejala harus menimbulkan dampak negatif pada kehidupan akademik dan sosial anak.
Seting gejala harus muncul pada beberapa seting dalam kehidupan anak.
Kriteria yang diberikan oleh DSM-IV untuk membantu kita menegakkan diagnosa ADHD dapat kita lihat berikut ini.
A. (1) atau (2)
(1) memenuhi 6 atau lebih gejala kurangnya pemusatan perhatian paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan;
(2) memenuhi 6 atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan
B. Gejala kurangnya pemusatan perhatian atau hiperaktivitas-impulsivitas muncul sebelum usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tersebut muncul dalam 2 seting atau lebih (di sekolah, rumah, atau pekerjaan)
D. Harus ada bukti nyata secara klinis adanya gangguan dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan.
E. Gejala tidak terjadi mengikuti gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia, atau gangguan psikotik lainnya dan tidak dilihat bersama dengan gangguan mental lain (gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, atau gangguan kepribadian).
PENYEBAB ADHD
Studi terhadap gambar otak menunjukkan bagian mana dari otak anak-anak ADHD yang tidak berfungsi dan penyebab tidak berfungsinya bagian itu belum diketahui, namun diduga berkaitan dengan mutasi beberapa gen. Selain faktor genetik tersebut, terdapat beberapa faktor yang sering dikatakan memiliki kontribusi dalam munculnya ADHD, diantaranya: kelahiran prematur, konsumsi alkohol dan tembakau (rokok) saat ibu hamil, terpapar timah dalam kadar tinggi, dan kerusakan otak sebelum lahir. Beberapa pihak lagi mengklaim bahwa zat aditif pada makanan, gula, ragi, dan pola asuh yang kering dapat memunculkan ADHD, namun pendapat ini kurang didukung fakta dan data yang akurat (Barkley, 1998; NIMH, 1999).
ADHD--penting bagi mereka yang berhubungan dengan anak-anak!
Penelitian membuktikan bahwa 90% manusia pasti pernah mengalami gangguan jiwa (ex: depresi, bipolar, post partum depression, post traumatic syndrome disorder, dll) setidaknya sekali. Sementara itu survei yang dilakukan Dr. Dwijo di sekolah-sekolahan di Jakarta menyingkap bahwa 1 dari 4 anak mengalami gangguan perkembangan.
Gangguan perkembangan yang paling sering terjadi pada anak-anak yang masih beraktifitas normal ini adalah attention deficit. Gangguan ini menyebabkan anak kesulitan dalam berkonsentrasi/fokus. Gejala-gejala yang dialaminya antara lain nge-blank (mendadak lupa apa yang sedang dipikirkan, mendadak tidak bisa sesuatu yang sudah bisa dilakukan, dll), sering lupa, susah konsentrasi, dll.
Kebanyakan orang tua yang tidak tahu akan mengatakan bahwa anaknya malas, lemot atau bodoh. Gejala-gejala ini timbul karena adanya pemicu pada sang anak, misalnya stres atau makan makanan yang tidak sesuai.
Gangguan ini muncul sebagai semacam reaksi alergi dari polutan, pengawet, pewarna, gluten, dan... (maaf, saya lupa yang lainnya). Faktor makanan menjadi salah satu yang paling susah diatasi karena makanan yang benar-benar bersih dari pengawet dan timbal hitam sekarang mungkin hanya makanan organik. Bahkan bayi dalam kandungan pun bisa kena dari sang ibu. Sebisa mungkin anak-anak ini harus menghindari junkfood, produk-produk dari susu, MSG, makanan yang lemaknya banyak, fastfood dan awetan. Patut diingat bahwa anak-anak ini sangat terpengaruh faktor biologis! Apalagi karena metabolisme tubuh mereka sedikit berbeda dari orang normal.
Anak-anak dengan gangguan ini yang biasanya ketahuan adalah anak-anak ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder). Yang paling kasihan adalah mereka yang tidak teridentifikasi sehingga tidak mendapatkan bantuan dalam mengatasi gejala-gejalanya. Jika mereka mendapatkan penanganan dan perlakuan yang benar sejak dini dari orang tuan, psikiater/psikolog anak, dan orang-orang di sekitarnya, gejala yang dialami mereka bisa berkurang/hilang.
Sayangnya kebanyakan dokter umum dan dokter anak di Indonesia ini tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hal ini sehingga banyak anak yang tidak teridentifikasi hingga sudah terlambat atau gejalanya sudah menjadi sangat parah. Terkadang pihak orang tua yang tidak bisa menerima anaknya juga yang menyebabkan keterlambatan penanganan sang anak. Hal inilah yang sering kali membuat para psikolog anak dan psikiater anak kesusahan.
Untuk membantu anak-anak dengan gejala ADD (Attention Deficit Disorder) ini, terkadang sang psikolog/psikiater anak akan menganjurkan penggunaan obat. Ada dua jenis obat yang umum digunakan, yaitu Ritalin dan Concerta.
Ritalin sudah cukup lama digunakan dan dikenal masyarakat Indonesia, bahkan ada dalam MIMS Indonesia (hal 107 kolom 4f. Obat SSP Golongan Lain & Obat ADHD). Sementara Concerta relatif lebih baru dari Ritalin. Kedua obat ini secara garis besar sama, hanya berbeda merek dagang. Kandungan utamanya adalah Methylphenidate HCl yang berfungsi sebagai psikostimulan. Jangan disamakan dengan narkoba! (karena terkadang Methylphenidate disalah kira sebagai amphetamine)
Obat ini bekerja dengan memperbaiki otak sehingga impuls-impuls di otak tidak terputus-putus dan sang anak dapat berkonsentrasi lebih baik. Durasi efek Concerta kurang lebih selama 8 jam (efek sampingnya adalah menurunnya nafsu makan pada anak-anak kurus dan normal, tapi pada anak-anak yang gemuk malah meningkatnya nafsu makan).
Dulu pengobatan dengan Ritalin dilakukan dengan adanya drugs holiday--pemberhentian pemakaian ketika sang anak sedang libur sekolah atau tidak ada tekanan. Tapi penelitian rupanya membuktikan bahwa dengan metode itu tidak bisa terjadi perbaikan permanen pada otak sang anak. Ternyata yang terbukti melakukan perbaikan permanen adalah pemberian obat ini selama 2 tahun dengan pemantauan dari psikolog dan psikiater anak.