Jumat, 09 April 2010

KESEHATAN ANAK Merkuri Bisa Menjadi Penyebab Autis

Ingat merkuri tentu ingat penyakit minamata. Seperti peristiwa yang terjadi pada kasus pencemaran Teluk Tokyo yang ditengarai sarat senyawa kimia merkuri. Pencemaran merkuri di kawasan itu berdampak mengerikan berupa munculnya penyakit minamata.
Di Indonesia pun ada kasus serupa walau diwarnai perdebatan. Teluk Buyat di Provinsi Sulawesi Utara ditengarai tercemar logam berat berupa merkuri. Kalangan LSM yang menyimpulkan hal tersebut. Tetapi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bantahan.
Riset di bidang kesehatan tentang merkuri tak melulu terkait dengan penyakit minamata. Sebuah riset terbaru memperlihatkan hubungan antara merkuri dengan autis yang kerap menerpa anak-anak.
Riset baru ini mungkin saja merupakan kabar gembira bagi para orangtua khususnya yang was-was tentang gejala autis. Sejauh ini tentu banyak hal sudah dilakukan berbagai pihak untuk mengatasi kelainan autis pada anak.
Paling tidak dari hal itu bisa menjadi cara untuk menghindar agar anak terbebas dari kemungkinan terkena autis. Laporan terkini tentang autis termuat dalam The Journal of Toxicology and Enviromental Health part A (2007). Hasil riset terkini tentang autis itu memang menyisakan keraguan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah terdapat hubungan kausal antara paparan merkuri dari pengawet thimerosal pada produk-produk vaksin dengan keracunan merkuri yang didiagnosis sebagai autism spectrum disorder (ASD).
Adalah Geier and Geier yang dalam jurnal tersebut menyatakan keraguan dalam penelitian tentang toksikologi orisinal. Geier and Geier menulis judul A Case Series of Children with Apparent Mercury Toxic Encephalopathies Manifesting with Clinical Symptoms of Regressive Autism Disorder.
Thimerosal merupakan senyawa merkuri toksik yang biasa digunakan sebagai pengawet pada beberapa obat bebas dan obat resep. Pengawet obat itu termasuk kebanyakan penggunaan pada suntikan flu yang diberikan kepada wanita hamil, bayi, anak-anak, dewasa dan usia lanjut.
Riset terkini Geire and Geire tersebut mulai mendapat dukungan. Sebut saja pada 19 April 2007, Kepala Organic Analitical Toxicology Branch Dr Larry L Needham menyatakan thimerosal termasuk senyawa kimia yang berkaitan dengan ASD. Needham mengatakan hal tersebut pada US National Academy of Sciences Institute of Medicine. Thimerosal dalam riset tersebut dinyatakan 49,55 persen merkuri berdasarkan berat.
Geier dan Geier (2007) menghasilkan pertama kalinya seri kasus pasien ASD yang telah dikonfirmasikan peranan pengawet obat thimerosal pada pasien-pasien yang didiagnosis ASD regresif. Sebagaimana dikutip situs resmi PT Kalbe Farma Tbk riset itu menggambarkan seri kasus dari 8 pasien yang mempunyai diagnosis ASD regresif, peningkatan kadar androgen, mengeluarkan sejumlah merkuri secara bermakna setelah pemberian obat pengelat, bukti biokimia penurunan fungsi dalam jalur glutation, tidak diketahui paparan merkuri yang bermakna selain dari pengawet vaksin thimerosal dan sediaan imunoglobulin Rho, dan penyebab alternatif ASD regresif mereka dikeluarkan
Studi klinis ini juga menemukan hubungan dosis-respons yang bermakna antara keparahan gejala ASD dan dosis merkuri total dari anak-anak yang menerima obat mengandung thimerosal.
Geier menyatakan pasien-pasien yang ditelitinya terpapar sejumlah merkuri dari obat yang mengandung thimerosal. Itu terjadi selama dalam kandungan dan perkembangan bayi ketika berusia 12-24 bulan. Semula anak-anak berkembang secara normal. Tetapi lama kelamaan menderita ensefalopatis akibat racun merkuri. Gejala itu tercermin dengan adanya gejala klinis konsisten pada diagnosis ASD regresif. Geier mengingatkan keracunan merkuri harus dipertimbangkan sebagai penyebab anak mengalami gejala ASD.
Untuk mengetahui adanya kemungkinan tersebut, setiap orangtua dapat dengan mudah meminta konfirmasi kepastian seorang anak autis non-khelat terkena racun merkuri. Kepastian tersebut dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan analisis profil porfirin urin (urinary porphyrin profile analysis/UPPA). Secara garis besar autis merupakan gangguan saat anak dalam masa perkembangan. Gangguan perkembangan pada anak ini mengakibatkan anak-anak sulit melakukan interaksi sosial. Akibatnya anak seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Gejala yang menimpa anak-anak tersebut sering disebut autis infantil.
Autis tentu berbeda dengan gangguan jiwa (schizophrenia) yang merupakan gejala pada seseorang yang membuatnya menarik diri dari dunia luar. Selanjutnya penderita schizophrenia menciptakan dunianya sendiri seperti tertawa, berbicara, menangis dan marah-marah sendiri. Schizophrenia disebabkan proses regresi karena penyakit jiwa. Adapun pada penyandang autis infantile terdapat kegagalan perkembangan.
Sejumlah kalangan mengemukakan pendapat orangtua sebaiknya mulai mengamati anak-anaknya saat berusia setahun. Terlebih bila frekuensi tatap mata sang anak sangat kurang. Anak juga tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non verbal. Gejala tersebut terutama terjadi pada autis infantil sebelum anak berusia tiga tahun.
Tak heran bila langkah lain yang diperlukan adalah perhatian orang tua terhadap anaknya yang menyandang autis. Perhatian ekstra dari para orangtua menjadi penting lantaran jumlah anak autis di Indonesia kian bertambah. Agar sembuh anak autis sebenarnya tak hanya butuh perhatian orangtua tetapi semua pihak di antaranya dokter, terapis, sekolah khusus, dan dukungan masyarakat luas. Namun khusus bagi orang tua tak perlu putus asa bila anaknya autis. Kasih sayang dan kesabaran orangtua bisa menjadi kunci untuk membantu serta memandirikan anak autis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar