Sebelum kita berusaha menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita kilas balik sedikit
tentang definisi dan gejala autisme pada anak. Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang luas. Menurut
Karen Siff Exkorn dalam bukunya "The Autism Sourcebook" , anak yang berada pada spektrum autisme yang berat
(severe) bisa saja tidak berbicara dan juga memiliki gejala retardasi mental atau ada anak yang tidak berbicara tapi
memiliki IQ yang tinggi. Sedangkan anak yang berada pada spektrum ringan bisa saja bersekolah reguler dan bahkan
bisa mencapai kriteria di mana anak tersebut sudah tidak tergolong dalam kriteria autisme. Oleh karena itu, autisme
sekarang lebih sering dikatakan sebagai Autism Spectrum Disorder atau ASD. Terdapat banyak gejala yang terlihat
pada anak autisme, tetapi ada tiga ciri umum yaitu terdapat gangguan interaksi sosial, kesulitan dalam memahami dan
berkomunikasi secara verbal, dan terdapat pola perilaku yang "tidak lazim", cenderung terbatas dan dilakukan berulangulang.
Individu autisme tetap mengalami perasaan emosional yang sama dengan individu lainnya. Kesulitan muncul
dari ketidakmampuan mereka dalam mengenali dan memahami perasaan orang lain dan mengekpresikan empati
terhadap perasaan orang lain tersebut. Masalah lain yang cukup signifikan yang memengaruhi kemampuan bicara
dan pola perilaku aneh yang terjadi pada anak autisme adalah gangguan fungsi sensorik. Adriana S Ginanjar dalam
bukunya "Panduan Praktis Mendidik Anak Autis: Menjadi Orang Tua Istimewa" menulis bahwa gangguan fungsi sensorik
yaitu ketidakmampuan mereka untuk menyaring dan mengolah informasi dari luar sehingga menyebabkan mereka
bereaksi berlebihan terhadap rangsangan yang masuk ke panca indera. Secara keseluruhan, masalah sensorik besar
dampaknya pada berbagai kesulitan yang mereka alami terutama dalam perkembangan bicara, keterampilan motorik
halus, dan kemampuan akademik. Harapan Orangtua Tidak terasa sudah hampir 10 tahun, hingga hari ini, kami
membesarkan dan mendidik anak kami yang menderita autism, hingga berbagai macam kemampuan sudah dimilikinya.
Saya teringat pada saat awal didiagnosa kemudian memulai proses terapi yang tidak mudah bagi kami semua. Pada
saat itu keinginan saya cuma satu, yaitu ingin dia berbicara. Tetapi setelah melalui proses terapi dan memahami
bahwa banyak hal yang harus dipenuhi sebelum dia bisa berbicara, maka keinginan saya berubah menjadi keinginan dia
memahami sesuatu secara konseptual. Saya baru saja membaca dalam sebuah majalah bahwa manusia dalam
memproduksi satu kata membutuhkan koordinasi 70 otot di seputar wajah. Dapat dibayangkan betapa sulitnya
penyandang autisme dalam mempelajari bagaimana memproduksi satu kata saja, apalagi berbicara dalam kalimat! Kami
melakukan terapi wicara yang intensif yang dipantau oleh seorang ahli terapi wicara yang berdomisili di Bogor. Beliau
mengajarkan teknik-teknik mengurut seputar wajah dan menyikat bagian dalam mulut, serta bagaimana membantu anak
untuk memproduksi bunyi dalam bentuk suku kata dan kata. Kembali kepada keinginan atau harapan saya yang
semakin meningkat, setelah anak saya bisa memproduksi beberapa kata dan berkomunikasi sederhana dengan
menggunakan PECS (Picture Exchange Communication Systems), saya ingin anak saya bisa membaca agar bisa
membantu mengembangkan bahasanya dalam berkalimat nantinya. Nah, mulailah pengembaraan uji-coba beberapa
teknik membaca yang rasanya tiada berujung. Kami memulai dari metode konvensional mengajarkan suku kata dan
merangkai suku kata, tetapi metode tersebut tidak efektif bagi anak saya. Kemudian kami mencoba metode sight reading
atau membaca global, yaitu langsung mengenalkan kata dengan gambarnya, setelah itu barulah secara bersamaan
mengenalkan suku kata, agar bisa membaca kata yang tidak berarti sekalipun. Ternyata metode ini sangat efektif dan
akhirnya anak saya bisa membaca. Setelah bisa membaca, harapan dan keinginan saya semakin meningkat,
selanjutnya saya ingin dia bisa berbicara dalam kalimat yang cukup panjang. Belum selesai dengan ini, keinginan dan
harapan saya berpindah ke area sosial yang masih serba kekurangan, misalnya bagaimana menahan emosi jika berada
di tempat umum, tidak berteriak seenaknya, tidak marah jika keinginannya tidak dikabulkan, tidak mengambil makanan
dan minuman orang lain, tidak mendorong orang jika berada di tangga, harus ke wc pria jika ke toilet umum, tidak boleh
memegang pipi orang lain selain ibu dan ayah, tidak buka baju dan celana di tempat umum, tidak mengambil barang
sebelum dibayar, dan masih banyak lagi aturan-aturan sosial yang harus dipelajari. Tidak berhenti sampai di sini,
harapan dan keinginan saya hari ini adalah bagaimana anak saya bisa mengatasi gejolak hormonal menjelang akil balig
nantinya. Sudah banyak cerita bahwa remaja autistik juga mengalami perubahan hormonal yang sama dengan remaja
lainnya tetapi dengan segala keterbatasannya masa ini bisa merupakan masa yang sangat bergejolak baik bagi anak
maupun orangtua. Saya teringat membaca dalam kata pengantar buku "Panduan Praktis Mendidik Anak Autis:
Menjadi Orang Tua Istimewa", Adriana S Ginanjar mewawancarai Donna Wiliams, individu autisme dewasa di Australia
yang sudah menikah. Beliau menanyakan bagaimana orangtua dapat memberikan penanganan yang terbaik bagi anakanak
autisme, Donna Williams memberikan tiga saran singkat: 1) Lupakan semua yang orangtua ketahui; 2) Lupakan
semua yang orangtua inginkan untuk diri sendiri; 3) Lupakan apa yang dinilai penting oleh masyarakat. Saya pikir
pernyataan ini membuat kita sebagai orangtua harus kembali berpikir bahwa apakah yang kita lakukan untuk anak atau
untuk keinginan diri sendiri. Sudahkan kita pertimbangkan keinginan dan perasaan anak dalam mencapai target
kemajuan yang sudah kita tentukan? Sembuh atau Perbaikan? Pada beberapa buku yang saya baca di atas,
semua mengatakan bahwa autisme tidak bisa disembuhkan. Bahkan dalam website World Autism Awareness Day 2009
(www.worldautismawarenessday) dikatakan bahwa autisme belum bisa "disembuhkan" dan secara medis faktor
penyebabnya belum terdeteksi. Penggunaan kata "sembuh" bagi beberapa orang mempunyai pengertian yang
mungkin berbeda. Saya sendiri pada awal anak saya didiagnosa dan memulai terapi, mempunyai harapan dan keinginan
yang besar agar anak saya sembuh dalam arti bisa berbicara, berkomunikasi, memiliki teman, bisa bersekolah umum
Jumat, 09 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar