Sabtu, 29 Mei 2010

Interaksi Dini dengan Anak Penyandang Buta Tuli/Tuna rungu

Oleh Deborah Gleasson

Semua bayi berkomunikasi. Dengan melalui komunikasi, hubungan dibentuk dan dipertahan. Orang tua harus belajar cara menafsirkan dan memberi tanggapan terhadap komunikasi yang dilakukan bayi mereka dalam upaya membentuk ikatan (batin) yang akan menjadi dasar perkembangan selanjutnya. Namun, ketika anak Anda adalah penyandang buta tuli/deaf blind, Anda mungkin sulit untuk memahami apa yang ia coba katakan kepada Anda dan anda mungkin juga tidak begitu yakin dengan cara anda berinteraksi dan berkomunikasi dengannya dengan sebaik-baiknya. Kami mencoba berbagi gagasan untuk membantu anda untuk menemukan cara-cara anda mengupayakan agar dunia anak anda aman dan dapat dipahami, dan cara anda dan anak anda yang masih kecil bertukar “pembicaraan” secara menyenangkan.

Anda tidak perlu menjalani upaya-upaya ini sendirian. Para professional di berbagai bidang akan membantu anda. Berbagai kelompok dan perorangan akan menawarkan bantuan pelayanan untuk anda. Mereka semua akan membantu Anda, namun untuk jangka panjang, andalah sebagai orang tua bersama keluarga anda, yang akan memberi pengaruh pada anak anda. Anak anda akan dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai jenis interaksi yang anak anda lakukan dengan ANDA. Hubungan yang dilandasi kepercayaan dan perhatian yang anda bangun dengan anak anda akan membentuk landasan bagi anak anda itu untuk menjelajahi dan menemukan suatu dunia yang senantiasa berkembang.

Dalam paparan ini kami akan menyajikan banyak cara dimana anda dapat berinteraksi dengan anak anda yang masih kecil. Kami menawarkan saran-saran praktis untuk memberikan isyarat-isyarat sensorik yang konsisten kepada anak anda. Di samping itu kami juga menyarankan berbagai cara yang dapat dipahami dan kemudian memberikan tanggapan terhadap respon anak anda. Kami juga menyertakan teknik-teknik yang mendorong eksplorasi lingkungan. Akhirnya, kami menyampaikan beberapa gagasan mengenai permainan sederhana yang tidak hanya menyenangkan, namun juga membantu mengembangkan interaksi dan komunikasi.

Pemandangan dari dalam Tempat Tidur Bayi


Indera penglihatan dan indra pendengaran sering merujuk pada “indera-indera jarak”, yakni, bahwa mereka menghubungkan anak dengan dunia yang terentang di luar jangkauan ruang tubuhnya. Anak–anak yang melihat dan mendengar mempelajari bahasa dan konsep-konsep penting tanpa melalui pengajaran yang terencana secara khusus. Mereka hanya belajar di tengah –tengah orang yang menggunakan bahasa dan dengan memiliki akses yang tersedia terhadap lingkungan yang aman, menarik dan mengundang eksplorasi. Indera pendengaran dan indera penglihatan membantu anak mengorganisasikan informasi dari lingkungannya. Namun, anak kecil yang buta tuli/deaf blind tidak memiliki akses terhadap kesempatan untuk “belajar secara insidental” dan informasi yang didapatkan anak melalui kontak dengan orang dan lingkungan sering terpecah-pecah dan terdistorsi.

Anak yang melihat dan mendengar melakukan antisipasi terhadap kejadian sehari-hari karena penglihatan dan suara yang berkaitan kegiatan-kegiatan itu dan dapat mempersiapkan diri terlebih dahulu untuk melakukan kegiatan-kegiatan itu. Bayi penyandang buta tuli/ deaf blind kehilangan isyarat-isyarat ini karena keterbatasan penglihatan dan pendengarannya, dan mungkin menganggap dunia sebagai tidak-dapat diprediksi, membingungkan dan bahkan menakutkan. Anak ini memerlukan bantuan orang lain memahami dunia luar. Dari sudut pandang anak, apa artinya menyandang buta tuli/deaf blind? Banyak hal yang terjadi mungkin menjadi “kejutan” yang tidak menyenangkan. Dia mungkin tidak memahami atau tidak dapat mengantisipasi apa yang terjadi terhadap dirinya. Ia mungkin mencoba berkomunikasi, namun isyarat yang digunakannya sedemikian subtle (tidak kentara) sehingga sulit bagi orang lain untuk memahaminya. Ia mungkin juga menganggap bahwa memahami upaya keras orang tuanya untuk berkomunikasi tidak mudah. Mari kita lihat suatu hal yang dilakukan --sehari-hari mengganti popok (diaper).—namun mari kita lakukan dan lihat dari sudut pandang bayi.

Meg baru saja terjaga dari tidurnya dengan popok yang kotor. Dia akan sedikit rewel agar ayahnya tahu bahwa ia terbangun. Ia akan mendongak ketika ia mendengar suara langkah kaki dan pintu dibuka untuk melihat ayahnya berjalan menuju tempat tidur bayinya. Ia mendengar ayahnya berbicara kepadanya, ketika ayahnya membungkuk di atas tempat tidurnya dan mengangkat serta membawanya ke tempat mengganti popok (diaper). Meg mengenali tempat ia berada dari beberapa pengalaman sebelumnya berada ditempat itu. Ia tahu siapa yang datang. Dia melihat ayahnya mengambil tas dari rak, membukanya, dan mengambil popok (diaper) yang baru dan kering. Kemudian ia melihat ayahnya meraih kotak kecil persegi yang terbuat dari plastik, membukanya, menarik tissu lembab sekali pakai, menutupnya kembali dan menaruhnya ke dalam rak lagi. Setelah ayahnya melepas popok (diaper) basahnya, Meg melihat ayahnya membuka tutup ember bulat, dan membuang diaper ke dalam ember tersebut dan kemudian menutupnya kembali. Sesaat dirinya dibersihkan, ia dapat menjejak-jejakan kakinya dengan leluasa terbebas dari selimutnya yang tebal. Meg mulai belajar mengantisipasi kegiatan rutin sehari-hari dan mulai membangun pemahaman atas beberapa konsep penting seperti ketetapan suatu benda /Obyek permanen yaitu sesuatu yang tetap ada bahkan bila saya tidak dapat melihat, mendengar, atau merasakannya) “ruang/wadah “ ( keluar/ masuk, buka/ tutup, ukuran, bentuk) dan organisasi ruang.

Alex baru saja bangun dengan popok (diaper) yang berantakan juga. Ia menyandang tuna rungu, namun dapat melihat wajah dan benda-benda berwarna terang ketika objek-objek tersebut tidak lebih dari 18 inci darinya. Ia tidak mendengar ibunya masuk ke kamarnya dan terkejut tiba-tiba melihat seseorang datang bergerak di atas tempat tidurnya. Karena popoknya berantakan dan Alex tidak suka diganti popoknya, ibunya memutuskan untuk mengganti popoknya dengan cepat di tempat tidur bayinya, sehingga mereka dapat tetap melakukan kegiatan-kegiatan bermain lebih banyak. Mulai saat itu, Alex mulai mengenali ibunya dari sentuhan dan kedekatannya dan berharap diangkat untuk bermain namun tiba–tiba ia bingung. “Apa gerangan yang terjadi dengan kakiku”? Mengapa aku kedinginan? Benda apakah yang dingin dipantatku? Aku benar-benar tidak suka. Mungkin, kalau aku menggeliat-geliat, rasa dingin itu akan hilang. Aduh, ternyata tidak ada pengaruhnya. Bagaimana kalau aku mengeraskan badanku sedkit? Masih nggak ada pengaruhnya. Kukira aku harus menangis. Akhirnya, Aku kembali memakai baju kering yang hangat, dan ibu memelukku. Meskipun demikian, aku tak yakin bahwa salah satu dari kita sedang ingin bermain-main.

Michelle berisik & merengek karena ia baru saja bangun terjaga dengan popoknya yang berantakan. Ia tuna netra dan agak kehilangan pendengarannya. Ibunya mendekati tempat tidur Michelle dan dengan lembut meletakkan tangganya ke dada Michelle dan menyapanya dengan isyarat khusus “Hallo”, kemudian diam sejenak, dan dengan lembut menarik tangan Michelle untuk menyentuh rambut ibunya, yang merupakan “nama isyarat” ibunya. Michelle menjadi tenang dan menggapaikan tangannya untuk menyentuh muka ibunya. Ini menjadi sapaan khusus. (Ia tahu bahwa ini ibunya yang akan mengangkatnya, bukan ayahnya dari rasanya menyentuh rambut ibunya, bukan dagu Ayahnya yang kasar). Michelle merasakan tangan ibunya yang dengan lembut mengangkatnya ke lengannya ketika ia mengucapkan sesuatu yang mirip bunyi “ angkat ke atas”. Ibu menunggu sampai Michelle mulai mengangkat kepala untuk menunjukkan bahwa ia sudah siap, kemudian ia mengangkatnya. Michelle bertanya-tanya apa yang akan mereka lakukan berikutnya, kemudian merasakan kain lembut alas meja ganti di bawah dirinya. Ia menjejak-jejakkan kakinya dan merasakan adanya kertas yang ada di kaki meja ganti yang dipasangkan dengan hati-hati oleh saudara perempuannya. Ia merasa rileks, karena ia tahu wajah-wajah yang mereka kenal. Ia merasakan ibunya menyentuh popoknya, dan kemudian merasakan adanya popok bersih baru di dekat tangannya. Michelle menarik dan dengan senang memain-mainkannya dengan tangannya selagi ibunya membersihkan pantatnya. Alangkah menyenangkan menjejak-jejak kertas milar dan merasakannya bergerak tanpa halangan selimut dan baju tidurnya. Ia merasakan ibunya dengan lembut mengangkat bawah lengannya. Ia mendengar suara seperti “angkat” lagi. Ia merasa rileks atas dipundak ibunya dan mereka pergi bermain-main bersama.

Sumber : nationaldb.org

ABD, Membantu Anak Tunarungu Hidup Normal

Dewi Arta - Okezone

TIDAK semua anak terlahir sempurna, beberapa di antara mereka, ada yang terlahir dengan kekurangan. Salah satu kekurangan tersebut adalah gangguan dalam pendengaran.

Di Indonesia, tanpa disadari kasus pendengaran gangguan cukup memprihatinkan. "Menurut data yang didapat dari Departemen Kesehatan 1,5 persen dari masyarakat Indonesia terlahir tunarungu," papar ketua FNKTRI (Federasi Nasional untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) Drs Totok Bintoro saat ditemui di Gedung Optik Malewai, Salemba, Jakarta Pusat, belum lama ini.

Melihat kondisi yang cukup memprihatinkan itu, Pusat Alat Bantu Dengar Melawai (PADB Melawai) mendonasikan 100 buah Alat Bantu Dengar (ADB) bagi masyarakat Indonesia, khususnya untuk anak-anak.

Donasi ini pula diberikan dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional 2009 serta menyambut HUT RI ke 64. Sebanyak 80 orang mendapatkan ABD di antaranya mereka yang berusia 4-18 tahun, sedangkan 20 orang lainnya adalah orang dewasa yang berusia 20-50 tahun yang aktif bekerja, namun masih kurang mampu membeli ABD.

"Dasar pertimbangan untuk memberikan bantuan terutama kepada anak-anak usia sekolah karena ABD sangat dibutuhkan mereka dalam proses kegiatan belajar. Seperti yang kita ketahui, pengembangan bahasa sangat diperlukan agar mereka mampu berprestasi seperti anak-anak normal. Sehingga mereka pun dapat mengembangkan seluruh potensi akedemik, disamping tentunya kemampuan lainnya seperti kemampuan bersosialisasi," tutur Direktur Pusat Alat Bantu Dengar Melawai Priscilla R.K Bahana.

ADB memang perlu segera diberikan pada mereka yang membutuhkan, karena jika gangguan pendengaran itu dibiarkan saja, bisa memacu anak jadi bisu.

"Jika insan-insan tunarungu ini tidak mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi dengan tepat dan semestinya seperti pemeriksaan pendengaran yang tepat dengan mengembangkan kemampuan bahasa oral aural dengan baik, mereka akan tetap menjadi manusia bisu," ungkap Audiologist dan pakar pendidikan anak tunarungu dari PABD Melawai Drs Anton Subarto, Dipl Aud.

Senada dengan Anton, Drs Totok Bintoro mengimbau agar kaum tunarungu mendapat perlakukan yang sama seperti manusia normal lainnya.

"Harapannya menghimbau pada lembaga-lemabag agar semakin terpanggil, karena tunarungu tidak identik dengan bisu. Dan kepada orang tua jangan putus asa, tapi dampingi anak dengan penuh kasih sayang. Untuk masyarakat umum, jangan posisikan tunarungu di tempat yang berbeda dari orang normal. Jadi tidak perlu malu mengenakan Alat Bantu Dengar," imbuhnya.

ADB yang sedianya berfungsi membantu pendengaran seseorang agar lebih baik, tak bisa dipinjamkan kepada orang lain. Pasalnya, setiap ADB diberikan kepada setiap orang yang butuh berdasarkan tingkat ketuliannya.

"Alat Bantu Dengar ini tidak bisa dipinjamkan karena hal ini berkaitan erat dengan tingkat ketulian anak, baik itu sedang, berat atau tuli, karena belum tentu cocok. ABD ini digaransi 1 tahun dan bisa diperbaiki di pusat ABD Melawai," ucap Anton.

Donasi 100 ABD ini dilakukan secara efektif dimulai dari serangkaian pemeriksaan audiologi atau pendengaran untuk menentukan ABD yang cocok bagi para tunarungu. Setelah itu, dilakukan proses pencetakan yang disesuaikan agar mereka nyaman saat mengenakan ABD. Lalu, pemasangan di daun telinga.

"Semoga kegiatan ini dapat terus kami lakukan setiap tahun sebagai upaya berpartisipasi dalam usaha memajukan dan mencerdaskan bangsa Indonesia," harap Priscilla mengakhiri pembicaraan.(nsa)

Cara Membantu Anak Mengatasi Gangguan Belajar, Tips Bagi Orang Tua

Anak yang mengalami gangguan belajar sering kali akan menunjukkan gangguan perilaku. Hal ini bisa berdampak pada hubungan pasien dengan orang-orang di sekitarnya (keluarga, guru dan teman-teman sebaya). Untuk itu anak perlu didampingi untuk menghadapi situasi ini.

Orang tua merupakan guru yang pertama dan terdekat dengan anak. Dengan demikian, peran orang tua sangat penting untuk mengenali permasalahan apa yang dialami anak. Selain itu, penting juga untuk menemukan kekuatan atau kemampuan yang dimiliki anak. Hal ini akan membantu orang tua mendukung anak mengembangkan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri anak.

Tugas anak adalah bermain, maka proses belajar pun sebaiknya menjadi proses yang menyenangkan untuk anak. Apalagi pada anak dengan gangguan belajar, penting untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan tidak membebani anak. Kenali hal apa yang membuat anak merasa senang. Misalnya, jika anak tersebut menyukai lagu tertentu, ajak anak itu belajar sambil memutarkan lagu tersebut. Ijinkan anak membawa mainan kesayangannya saat belajar. Jika anak senang dengan suatu obyek tertentu, misalnya kereta api, sertakan bentuk kereta api dalam pelajaran. Sebagai contoh, anak dengan gangguan berhitung, saat belajar berhitung dapat digunakan gambar kereta api yang dia senangi.

Anak dengan gangguan belajar juga bisa mengalami perasaan rendah diri karena ketidakmampuannya atau karena sering diejek oleh teman-temannya. Untuk itu, penting bagi orang tua memberikan pujian jika ia berhasil melakukan suatu pencapaian. Misalnya, bila suatu kali anak berhasil mendapat nilai yang cukup baik atau mengerjakan tugas dengan benar, maka orang tua hendaknya memberi pujian pada anak. Hal ini akan memotivasi anak untuk berbuat lebih baik, meningkatkan rasa percaya diri dan membantu anak merasa nyaman dengan dirinya.

Keterlibatan pihak sekolah juga perlu diperhatikan karena sebagian besar waktu belajar anak ada di sekolah. Diskusikan dengan guru kelas mengenai kesulitan dan kemampuan anak dalam belajar. Posisi tempat duduk anak di kelas juga bisa membantu anak untuk lebih berkonsentrasi dalam belajar. Akan lebih baik jika anak duduk di depan kelas sehingga perhatiannya tidak teralih ke anak-anak lain atau ke jendela kelas.

Masalah gangguan belajar penting sekali dipahami oleh orang tua dan guru sehingga dapat mendukung dan membantu anak dalam belajar. Jika ditangani dengan tidak benar maka hanya akan menambah permasalahan pada anak. Deteksi dan konsultasi dini pada anak yang diduga mengalami gangguan belajar menjadi faktor penting sehingga anak dapat segera ditangani dengan tepat. Kerja sama antara orang tua, guru dan profesional kesehatan jiwa (psikiater dan psikolog) diperlukan untuk membantu anak menghadapi permasalahan gangguan belajar tersebut.

www.kabarindonesia.com

Deteksi Dini Gangguan Belajar pada Anak

Gangguan belajar pada anak penting untuk dideteksi sejak dini. Hal ini karena gangguan belajar dapat mempengaruhi perasaan dan perilaku anak. Perilaku anak dengan gangguan belajar dapat diamati saat di kelas. Anak biasanya tidak dapat duduk tenang di tempatnya, lambat menyelesaikan tugas atau bahkan tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan. Hal ini sebetulnya merupakan bentuk penghindaran dari mengerjakan tugas yang dirasanya sulit.
Perkembangan anak sejak kecil juga bisa merupakan pertanda kemungkinan terjadinya gangguan belajar pada usia sekolah dasar. Anak dengan keterlambatan bicara (belum bisa mengucapkan kalimat sederhana di usia 2 tahun), bisa merupakan faktor prediksi terjadinya gangguan belajar. Gangguan koordinasi motorik, terutama pada usia menjelang taman kanak-kanak, juga bisa menjadi faktor prediksi terjadinya gangguan belajar.

Jika orang tua atau guru melihat tanda-tanda adanya gangguan belajar pada anak, perlu segera dikonsultasikan kepada dokter. Pertama kali dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Karena seringkali gangguan pada penglihatan dan pendengaran juga dapat mengganggu kemampuan belajar anak. Pemeriksaan psikologis seperti tingkat kecerdasan (tes IQ), juga perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya tingkat kecerdasan yang kurang, seperti pada retardasi mental. Selain itu, diperiksa juga kemungkinan adanya gangguan jiwa lain seperti autisme, gangguan pemusatan perhatian dan perilaku, atau gangguan kecemasan.

www.kabarindonesia.com

Memahami Gangguan Belajar pada Anak Sekolah Dasar

Oleh : Astri Parawita Ayu | 19-Jan-2007, 23:51:35 WIB

Proses belajar anak usia Sekolah Dasar merupakan kondisi yang sangat penting sebagai landasan pendidikan anak. Namun demikian, kondisi belajar tersebut terkadang mengalami gangguan yang tentu saja dapat mempengaruhi proses belajar anak. Gangguan belajar terutama pada anak Sekolah Dasar merupakan suatu gejala, yang bisa menjadi bagian dari suatu gangguan tertentu, namun dapat pula sebagai kondisi tersendiri.

Gangguan belajar bisa merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa, seperti retardasi mental, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif, gangguan autisme atau gangguan cemas pada anak. Sedangkan gangguan belajar yang berdiri sendiri, bisa dalam bentuk gangguan membaca (disleksia), gangguan menulis (disgrafia) atau gangguan berhitung (diskalkulia).

Gangguan Membaca (Disleksia)
Gangguan membaca merupakan suatu diagnosis yang ditandai oleh adanya kesulitan berat dalam kemampuan membaca (mengerti bahan bacaan). Kesulitan ini tidak sesuai dengan yang dialami anak lain seusianya dan tidak sesuai dengan kemampuan kognitifnya. Gangguan membaca ini juga tidak berhubungan dengan adanya gangguan perkembangan fisik, motivasi yang kurang, pendidikan yang kurang adekuat, masalah sosial ekonomi dan gangguan pada sistem sensorik (penglihatan dan pendengaran).

Gangguan berhitung (diskalkulia)
Gangguan berhitung atau gangguan matematik merupakan kesulitan dalam kemampuan aritmatik; termasuk berhitung dan menyelesaikan soal-soal aritmatik. Kesulitan ini tidak sesuai dengan kemampuan anak seusianya, tingkat kecerdasan dan pendidikan yang dijalaninya. Selain itu, kesulitan ini juga tidak disertai dengan adanya gangguan penglihatan, pendengaran, fisik atau emosi. Juga tidak berhubungan dengan lingkungan, kultur atau ketidakmampuan ekonomi.

Gangguan Menulis (Disgrafia)
Gangguan menulis merupakan gangguan pada kemampuan menulis anak yaitu kemampuan di bawah rata-rata anak seusianya. Gangguan ini tidak sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pendidikan yang telah dijalaninya. Hal tersebut menimbulkan masalah pada akademik anak dan berbagai area kehidupan anak. Menulis merupakan proses penyelesaian masalah (problem solving); yang melibatkan kemampuan penulis dalam menghasilkan bahasa yang dapat dimengerti serta merefleksikan kemampuan dan opini penulis tentang suatu topik.

sumber : www.kabarindonesia.com

Luar Biasanya Otak si Anak Savant Syndrome

Merry Wahyuningsih - detikHealth

Wisconsin, Seorang anak laki-laki di Milwaukee mampu menghapal jadwal bus dan menyebutkan dimana bus-bus tersebut berada sepanjang hari. Ada juga anak yang dapat menyusun puzzle yang rumit tanpa ragu meski dengan potongan terbalik sekalipun. Anak yang lain dapat menguraikan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari tertentu.

Keajaiban-keajaiban ini membuat Dr Darold Treffert seorang profesor klinis di University of Wisconsin Medical School terus mencari tahu bagaimana otak manusia mampu menghasilkan prestasi luar biasa seperti yang disaksikannya di tempatnya bekerja selama 44 tahun.

Treffert menyadari bahwa anak-anak tersebut memiliki kelainan savant syndrome (sindrom sarjana atau kemampuan orang yang sangat terpelajar). Dari sinilah ia memulai pencarian untuk memahami bagaimana orang-orang yang cacat mental berat kadang-kadang dapat menunjukkan apa yang disebutnya 'pulau jenius.'

Savant syndrome atau kadang disingkat savantism bukan merupakan diagnosis medis yang diakui. Hingga kini masih belum diketahui apa penyebab savant syndrome tersebut. Meskipun sindrom ini hampir mirip dengan penderita autis.

Tetapi Treffert menjelaskannya sebagai kondisi langka yang mana orang-orang dengan gangguan perkembangan termasuk gangguan autisme memiliki satu atau lebih bidang keahlian, kemampuan atau kecemerlangan yang kontras dengan orang normal kebanyakan.

Dalam jurnalnya yang bertajuk 'Savant Syndrome: An Extraordinary Condition' yang ditulis Treffert ada beberapa hal yang dapat diketahui mengenai keajaiban anak savant syndrome:

1. Sebagian penderita autis menunjukkan kemampuan-kemampuan savant.
Sekitar separuh dari orang-orang dengan savant syndrome memiliki gangguan autistik, sementara separuh lainnya lagi cacat, keterbelakangan mental, kerusakan otak atau penyakit. Namun tidak semua penderita autis memiliki savant syndrome dan tidak semua savant syndrome adalah penderita autis.

2. Jumlah penderita autis dan savant syndrome lebih banyak laki-laki.
Secara normal, otak kiri lebih dulu berkembang dibanding otak kanan. Namun menurut sebuah penelitian, pada janin laki-laki umumnya beredar testosteron yang dengan tingkat yang sangat tinggi sehingga dapat memperlambat pertumbuhan dan fungsi kerusakan saraf yang lebih rentan terjadi pada otak kiri. Inilah yang menyebabkan jumlah laki-laki penderita savant syndrome lebih banyak dibandingkan perempuan.

3. Penderita savant syndrome memiliki keterampilan khusus yang menarik.
Treffert mengelompokkan kecemerlangan savant syndrome dalam 5 kategori umum, yaitu keahlian musik, seni, penghitungan kalender, matematika, dan mekanikal atau kemampuan spasial.

4. Penderita savant syndrome memiliki daya ingat yang luar biasa.

5. Savant syndrome bisa merupakan bawaan sejak lahir atau diperoleh karena adanya cedera atau penyakit otak yang terjadi pada masa bayi, masa kanak-kanak atau dewasa.

6. Keterampilan yang dimiliki savant syndrome biasanya tidak bisa hilang dan jika terus dilatih dan digunakan akan terus meningkat.

Hingga sekarang belum ada teori yang dapat menjelaskan tentang savant syndrome secara pasti. "Saya telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa jika kita dapat menjelaskan tentang savant syndrome maka kita tidak akan bisa menjelaskan tentang diri kita sendiri," kata Treffert seperti dilansir CNN, Senin (1/3/2010).

Tokoh-tokoh dunia yang mengidap savant syndrome antara lain Matt Savage seorang pianis jazz. Adapula Stephen Wiltshire dan George Widener dua orang savant yang luar biasa.

Sekolah Umum Harus Siap Tampung Anak Berkebutuhan Khusus

Merry Wahyuningsih - detikHealth

Jakarta, Jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang memasuki usia sekolah terus meningkat. Tapi sayangnya pendidikan mereka kerap terhambat oleh keterbatasan sarana pendidikan yang dimiliki oleh sekolah umum mulai dari taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan atas.

Jumlah anak penderita autis dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1987, rasio anak autis adalah 1:5.000, ini berarti diantara 5.000 anak ada satu anak autis.

Angka ini meningkat tajam setelah 10 tahun (1997) yakni menjadi 1:500, kemudian menjadi 1:150 pada tahun 2000. Para ahli memperkirakan pada tahun 2010 ini penderita autis akan meningkat mencapai 60 persen dari keseluruhan populasi dunia.

Data Ditjen Dikti menyebutkan di Indonesia terdapat 811 sekolah inklusi yang diperuntukkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan jumlah total 15.144 siswa. Namun jumlah ini belum dapat menampung seluruh anak dengan kebutuhan khusus yang ada di Indonesia.

Melihat fenomena ini, Dirjen Dikti Prof.Dr.H.Fasly Djalal, MBA, MSI dalam jumpa pers, Senin (1/3/2010) mengatakan akan memberikan dukungan bagi sekolah-sekolah umum agar mereka lebih siap dan terbuka untuk menerima dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus. Pengajar juga akan dibekali wawasan mengenai pendidikan untuk 'dunia kebutuhan khusus'.

Menurut Fasly, ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan pendidikan anak berkebutuhan khusus, yaitu sistem guru, mengembangkan P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dan LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan), serta intensif sekolah yang mau menerima anak dengan kebutuhan khusus.

Diharapkan wacana ini akan semakin intensif dibahas dalam seminar "Indonesian Conference on Children with Special Needs-Multi Perspectives in Inclusion" yang akan diadakan pada 11-12 Maret 2010 di gedung Direktorat Pendidikan Tinggi.

Seminar yang digelar oleh Ditjen Dikti, Kementerian Pendidikan Nasional yang berkolaborasi dengan IndoCARE (Indonesia Center for Autism Resource and Expertise) itu sekaligus menyambut Hari Peduli Autism Sedunia tanggal 2 April mendatang.

Konferensi ini digelar sebagai bentuk kepedulian pemerintah dan swasta terhadap pendidikan inklusi yang memang sangat dibutuhkan oleh anak-anak dengan kebutuhan khusus. Karena anak berkebutuhan khusus berhak mengenyam pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 45 pasal 31 yang menekankan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali.

Melalui konferensi ini diharapkan peranan pemerintah dalam menjangkau anak-anak dengan kebutuhan khusus dapat lebih optimal. Sehingga anak-anak tersebut dapat memperolah pendidikan yang lebih layak, selain juga membekali orangtua dalam mendidik dan membimbing anak-anak yang berkebutuhan khusus.

Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Anak yang menderita autis jika kepalanya diperiksa dengan menggunakan CT Scan semuanya akan terlihat normal-normal saja.

Diduga autis terjadi karena jembatan yang menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat, dan sampai saat ini belum diketahui apa yang membuatnya terhambat. Sampai saat ini belum ada satu penyebab yang pasti mengakibatkan anak autis.