Jumat, 28 Mei 2010

Sekolah Inklusi

Dalam sebuah kesempatan lain, saya berkenalan dan berbincang dengan seorang Kepala Sekolah di sebuah sekolah menengah kristen. Dia bercerita tentang salah seorang siswanya yang tunarungu (tidak dapat mendengar), sebut saja namanya Angel (bukan nama sesungguhnya). Anak-anak tunarungu, umumnya juga mengalami kesulitan bicara meskipun sebenarnya mereka tidak bisu, tetapi karena sejak bayi tidak pernah mendengar suara, mereka seringkali mengalami kesulitan belajar bicara. Angel sejauh ini bisa mengikuti pelajaran di Sekolah Reguler dengan baik, bahkan prestasi akademiknya pun sangat cemerlang. Dia juga bisa bergaul dengan teman-teman “normal”nya. Yang menarik, adalah saat Angel harus berhadapan dengan Ujian Nasional yang membutuhkan bahasa lisan. Pihak sekolah menawarkan sebuah kebijakan, mengingat Angel adalah seorang siswa tunarungu, mereka menawarkan jenis ujian tertulis untuk materi tsb. Angel dengan tegas menolak. Dia ingin diperlakukan SAMA, seperti layaknya siswa-siswa ”normal” lainnya. Jadi, dengan segala upaya dan kerja keras, Angel menjalani ujian lisannya, dan dia BERHASIL!

Ada banyak siswa lain seperti Angel, yang meskipun memiliki gangguan / keterbatasan fisik, tetap ingin hidup “normal” serta diterima apa adanya oleh lingkungan dan teman-teman mereka. Mungkin kita tidak menyadari, bahwa respons atau reaksi kita terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus ini SANGAT BESAR dampaknya. Bagi Angel, pihak sekolah yang menerima keberadaan dirinya, juga guru serta teman-teman yg mendukungnya, berperan sangat positif bagi kemajuan hidupnya.

Tetapi di tempat lain, ada seorang remaja lain yang menderita gangguan pendengaran (tidak tuli, tetapi membutuhkan alat bantu untuk bisa mendengar dengan baik), sebut saja namanya Jason (bukan nama sesungguhnya) tidak seberuntung Angel. Setiap kali Jason mengenakan alat bantu dengar tsb, teman-temannya justru mengolok bahkan berteriak keras-keras di dekatnya. Bukan saja hal tsb berbahaya bagi telinga Jason, tetapi respons teman-temannya tsb membuat Jason malu menggunakan alat bantu di kelas, yang tentu saja berakibat tidak baik pada prestasi akademiknya di sekolah.

Anak-anak kita, sejak dini, harus mulai diajarkan bagaimana hidup bersama dalam perbedaan. Secara khusus, bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap orang lain yang memiliki keterbatasan karena gangguan perkembangan.

Sekolah Inklusi adalah salah satu model sekolah yang berusaha menciptakan lingkungan sekolah yang “ramah” bagi semua, termasuk menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus berada di kelas yang sama dengan anak-anak “normal” lainnya. Perlu diketahui, bahwa tidak semua sekolah siap menerima kehadiran anak-anak dengan kebutuhan khusus, terutama anak-anak yang memiliki gangguan perkembangan sedemikian rupa sehingga (dianggap) dapat mengganggu jalannya proses pelajaran di kelas, seperti misalnya: anak autis, anak hiperaktif, atau anak-anak yang menderita cerebral palsy. Biasanya keberatan yang diajukan oleh pihak sekolah adalah karena tidak tersedianya tenaga profesional yang memadai maupun fasilitas untuk dapat melayani anak-anak tersebut.

Bagaimana pun, tantangan bagi Sekolah Inklusi tentu lebih berat dibanding Sekolah Reguler pada umumnya. Tetapi hasil yang dicapai ternyata sangat menggembirakan bagi semua pihak. Riset membuktikan bahwa kehadiran siswa-siswa berkebutuhan khusus, ternyata tidak berdampak negatif terhadap prestasi siswa-siswa “normal” yang sekelas dengan mereka, sebagaimana yang dikuatirkan oleh banyak pihak. Justru anak-anak “normal” tsb bertumbuh menjadi orang yang lebih berwawasan, makin bijak, serta lebih terbuka. Bagi siswa-siswa yang berkebutuhan khusus, penerimaan atas diri mereka di Sekolah Inklusi bersama siswa-siswa “normal” lainnya menunjukkan pengaruh motivasi yang meningkat, yang tentu saja dibarengi dengan tingkat prestasi yang lebih tinggi serta kemajuan yang lebih pesat dibanding bila mereka berada di Sekolah Khusus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar