1. Mereka tidak boleh dikasihani tetapi dihargai sebagai manusia yang utuh
Anne Sullivan Macy, guru Helen Keller, memberi contoh yang sangat baik tentang bagaimana seharusnya kita bersikap kepada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, yaitu dengan TIDAK mengasihani mereka hanya karena mereka memiliki kekurangan. Saat si kecil Helen yang berusia sekitar 7 tahun makan dengan caranya sendiri yang sangat berantakan dan benar-benar jauh dari aturan sopan santun (karena sejak usia 1 tahun-an Helen sudah menderita buta dan tuli, jadi sejak itu belum ada orang yang bisa berkomunikasi dengannya dan mengajarkan tata krama) Anne Sullivan dengan tegas “mendidik” Helen dengan sangat keras. Meskipun mulanya kedua orang tua Helen keberatan dengan cara-cara Anne Sullivan, akhirnya mereka bisa menerima, bahwa mengasihani putri mereka karena cacat yang dideritanya justru tidak akan membawa kepada perubahan yang lebih baik.
Nick Vujivic adalah contoh lain tentang ketegaran hati seseorang menghadapi “ketidakberuntungan” dalam hidup. Nick dilahirkan tanpa tangan dan kaki. Ada banyak alasan bagi Nick untuk mengasihani diri sendiri dan membuat hidupnya bergantung dari belas kasihan orang lain karena dia benar-benar cacat dan “tidak dapat bekerja”. Tetapi semua orang tahu, bukan pilihan hidup seperti itu yang dijalani oleh Nick. Saat ini Nick adalah seorang pengusaha muda yang sukses, seorang Motivator yang hebat, dan sungguh seorang anak Tuhan yang dipakai secara luar biasa untuk membangkitkan semangat hidup orang-orang yang mendengar ceramahnya.
2. Mereka jangan dikucilkan, tetapi diterima
Ada seorang anak Sekolah Minggu, sebut saja namanya Steven (bukan nama sesungguhnya) yang menurut penuturan orang tuanya, mengidap Autis dan Hiperaktif. Steven akan menyentuh apa saja yang ditemuinya, bahkan tidak akan ragu-ragu naik meja untuk mengambil gitar Guru Sekolah Minggu yang sudah “diamankan” di ujung meja sana. Melihat tingkah laku Steven serasa melihat gasing yang selalu berputar. Guru Sekolah Minggu yang bertugas pasti dibuatnya “kerepotan”.
Si Ibu, saya lihat, dengan sabar selalu menemani dan mengikuti, sekaligus menjagai Steven. Sudah bertahun-tahun si Ibu mengalami hal ini, karena kakak Steven dulunya juga mengalami gangguan perkembangan persis seperti yang saat ini dialami oleh Steven. Dalam hati saya berpikir, betapa melelahkannya …. Sekaligus saya sangat salut dengan si Ibu yang tidak pernah saya lihat marah-marah atau menjadi be te karena tingkah laku anaknya tersebut.
Anak-anak seperti Steven, dan orangtuanya juga, perlu merasa diterima oleh lingkungannya. Ibu Steven setiap hari Minggu ke gereja, tetapi tidak pernah bisa ikut kebaktian atau menemani anaknya “duduk manis” di Sekolah Minggu. Steven selalu bergerak setiap detik dan setiap saat, demikian juga si Ibu. Tetapi, alih-alih mengurung Steven di rumah, si Ibu tetap dengan setia, setiap Minggu, mengajak dan menemani Steven ke gereja. Meski pun ini berarti si Ibu juga harus siap keliling gedung gereja, naik turun tangga dari lantai satu ke lantai lainnya (gerejanya punya 4 tingkat tanpa lift), pindah dari satu ruang ke ruang yang lain, demikian seterusnya hingga jam kebaktian berakhir.
Beberapa tahun telah berlalu, dan kadang saya masih sempat berjumpa dengan si Ibu saat menjemput Steven, yang sudah bersekolah di sebuah SD kristen yang sama dengan anak saya waktu itu. Dari perbincangan itu saya bisa merasakan betapa leganya si Ibu setelah akhirnya melewati “masa-masa sulit” dan kini si anak sudah dapat berperilaku “normal” seperti anak-anak lainnya. Banyak orang tua maupun teman Steven yang tidak pernah tahu bila dulu semasa kecilnya, Steven pernah mengalami gangguan perkembangan perilaku.
3. Sama spt anak lainnya, mereka harus diberi kesempatan untuk bertumbuh secara optimal
Di sebuah Sekolah Minggu yang lain, ada kasus yang agak berbeda. Sebut saja seorang anak yang bernama Deni (bukan nama sesungguhnya). Deni dikenal sebagai seorang anak yang “bodoh” (diperkuat dengan bukti bahwa Deni pernah tidak naik kelas) dan kurang bisa bergaul karena dia cenderung lebih suka bermain sendiri daripada berbaur bersama dengan teman-temannya. Hingga suatu hari, ada fenomena baru yang membuat para Guru Sekolah Minggu dan teman-teman melihat sesuatu yang lain dalam diri Deni.
Deni mengajak seorang teman baru ke Sekolah Minggu, uniknya, teman baru tsb adalah seorang anak yang tunarungu / tuli. Ëntah dimana Deni pernah belajar bahasa isyarat, atau mungkin juga Deni sebenarnya belum pernah mempelajarinya, tetapi itu tidak penting. Yang sungguh mengejutkan adalah, Deni bisa berkomunikasi dengan baik dengan temannya yang tunarungu tsb, bahkan di Sekolah Minggu, dengan bangga Deni menjadi “penerjemah” sekaligus pendamping bila temannya yang tunarungu tsb membutuhkan bantuannya. Kejadian ini membuktikan bahwa sebenarnya Deni tidaklah bodoh, dan tidak benar juga bila dikatakan dia tidak pandai bergaul.
Anak-anak seperti Deni, yang mungkin menyandang sebutan Learning Disability (mengalami kesulitan belajar), atau biasa dikatakan “lamban” (slow learner), umumnya dirugikan karena “bukti akademik” yang dicapainya tidaklah sehebat teman-teman sebayanya. Ditambah lagi dengan stigma bahwa dia pernah tidak naik kelas, akan semakin memperburuk keadaannya. Anak-anak seperti ini selamanya akan hidup di bawah bayang-bayang persepsi orang lain akan “kelemahannya” tersebut.
Sudah saatnya kita mulai menyadari bahwa tidak ada gunanya untuk berfokus pada kekurangan atau kelemahan seseorang. Akan jauh bermanfaat dan membangun, bila kita mau mengganti fokus kita pada kelebihan dan keunikan orang lain. Saat kita belajar untuk menghargai keunikan orang lain, dan berupaya untuk melihat kelebihan orang lain, maka hal positif lah yang akan kita tuai.
Di sebuah Sekolah Dasar, dimana saya pernah memberikan pelatihan tentang Multiple Intelligences, ada sebuah temuan yang menarik. Para siswa kelas 1 SD di sekolah ini, dimasukkan / dikelompokkan ke dalam kelas berdasarkan hasil Tes IQ. Dimana kelas 1A berisikan para siswa yang memperoleh nilai Tes IQ tinggi, kelas 1B siswa yang memperoleh nilai Tes IQ sedang, dan kelas 1 C, tentu saja, siswa-siswa yang memperoleh nilai Tes IQ lebih rendah dibanding siswa-siswa di kedua kelas sebelumnya. Anak-anak ini sudah di”cap” dan diberi stigma, bahkan sebelum mereka menunjukkan prestasi akademik mereka yang sesungguhnya. Alhasil, sepanjang semester yang telah berlalu, mereka, karena diperlakukan seperti anak-anak yang “kurang pandai” juga menunjukkan hasil akademik yang lebih rendah dibanding kedua kelas lainnya.
Tetapi, saat Guru mereka mencoba mempraktekkan model pengajaran Multiple Intelligences, hasil yang dicapai oleh siswa-siswa di kelas ini sungguh menggembirakan. Kami menemukan, bahwa ternyata kekuatan para siswa di Kelas 1 C ini pada umumnya adalah pada gaya belajar KINESTETIK, dimana mereka akan lebih mampu menyerap materi pelajaran melalui pengalaman praktek di lapangan ketimbang mendengarkan ceramah di dalam kelas.
Jadi sebenarnya, anak-anak yang selama ini dianggap memiliki kelemahan belajar atau kurang pandai, bisa saja sebenarnya adalah anak-anak yang memiliki gaya belajar yang TIDAK terwakili di sekolahnya. Kalau saja lingkungan mereka lebih “ramah” dan lebih “manusiawi”, niscaya anak-anak ini akan dapat tumbuh secemerlang teman-teman lain yang memang memiliki nilai IQ yang lebih tinggi.
Bila praktek-praktek di Sekolah “konvensional” telah menyebabkan sebagian anak terhambat perkembangannya, terutama dalam hal emosi dan sosial, baiklah di rumah dan di Gereja, di Sekolah Kristen maupun Sekolah Minggu tidak perlu melakukan kesalahan yang sama. Perlu kita mengevaluasi diri kita sendiri sebagai Orang Tua, Guru Kristen, dan juga Guru Sekolah Minggu atau Aktivis Pelayanan Anak.
- Apakah kita telah menyediakan lingkungan yang “ramah” dan “manusiawi” bagi setiap anak untuk bertumbuh secara optimal?
- Apakah kita sudah menghargai keunikan setiap anak serta mendorong mereka untuk berkembang sesuai dengan potensi / bakat minatnya masing-masing?
- Adakah tempat bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus di rumah atau di kelas yang kita asuh?
Mari, agar hidup kita sebagai orang-orang yang telah dipanggil Kristus berpadanan dengan panggilan itu. Dengan penuh kasih, kita saling menguatkan dan mendukung saudara-saudara kita yang hidup bersama anak-anak berkebutuhan khusus, kita memberi dengan sukacita dan menolong, sesuai talenta maupun karunia yang Tuhan berikan, agar anak-anak dengan kebutuhan khusus yang kita layani boleh makin bertumbuh di dalam Tuhan. Dan pada akhirnya, nama Tuhan saja yang makin dipermuliakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar