Jumat, 28 Mei 2010

Anak berkebutuhan khusus di lingkungan anak “normal”: diterima atau ditolak?

Saya masih ingat betul, saat-saat mendampingi anak saya yang pertama, Hans, bersekolah. Waktu itu usia Hans 2,5 tahun dan dia berada di Kelas Pra-Playgroup. Kelasnya sangat menyenangkan, terdiri dari beberapa anak laki dan perempuan yang manis-manis, dan seorang guru yang sangat dicintai oleh anak-anak. Segala sesuatu berjalan dengan baik, hingga pada suatu hari muncullah seorang anak baru, sebut saja namanya Don (bukan nama sesungguhnya). Don bertubuh besar dan agak gemuk, dialah yang paling besar dan kuat dibanding teman-teman sekelasnya. Don tidak bisa diam, dia suka naik meja, dia juga sering menangis, marah dan mengamuk, bahkan kadang berguling di lantai serta membenturkan kepalanya ke tembok. Don belum bisa berbicara selayaknya anak seusianya. Menurut neneknya, yang selama ini mengasuh Don sejak kecil, Don didiagnosis terkena Autis taraf ringan dan sedikit Hiperaktif.

Mengamati tingkah laku Don dari balik jendela kelas, sungguh sangat mencemaskan hati banyak orang tua. Apalagi setelah beberapa anak, yang umumnya memiliki tubuh sangat kecil, telah menjadi “korban” akibat ledakan emosi Don yang salah sasaran. Beberapa anak bahkan sempat merasa takut dan tidak mau sekolah. Si guru yang kebetulan bertubuh mungil, juga harus dengan sekuat tenaga berupaya memegang Don, bahkan kadang menggendongnya, bila hal itu dapat meredakan emosi Don yang sedang meledak.

Beberapa kali saya sempat berbincang dengan nenek Don, yang setiap pagi rajin mengantar dan menunggui Don hingga kelas berakhir. Saya bisa merasakan cinta kasih serta keprihatiannya atas diri Don yang memiliki gangguan perkembangan. Saya tidak bisa banyak membantu, juga kadang tidak tahu harus berkata apa, tetapi saya berusaha menjadi pendengar yang baik. Dari sini saya melihat bahwa, memiliki seorang anak dengan kebutuhan khusus, benar-benar menyita seluruh WAKTU, TENAGA, PIKIRAN, bahkan PERASAAN, disamping tentu saja, DANA yang tidak sedikit untuk berbagai pengobatan dan terapi yang harus dijalani oleh anak berkebutuhan khusus tsb. Si nenek memutuskan untuk memasukkan Don ke Sekolah Reguler karena ingin Don juga merasakan kehidupan seperti layaknya anak-anak “normal” lainnya.

Di sisi yang lain, saya juga menjadi tempat curhat (curahan hati) dari para orang tua yang merasa kehadiran Don di kelas anak-anaknya tidak pada tempatnya. Seharusnya Don berada di Sekolah Khusus, demikian kata mereka. Apalagi para orang tua yang anaknya telah menjadi “korban” tingkah laku Don, mereka memiliki berbagai bukti kuat bahwa kehadiran Don bisa merusak semangat bersekolah anak-anak lainnya, juga dalam hal keselamatan fisik anak-anak tersebut.

Sungguh dilematis bukan?

Masing-masing pihak punya kepentingan dan pergumulannya sendiri. Tetapi pada saat kepentingan dan pergumulan ini dikonfrontasikan, seringkali pihak yang harus mengalah adalah yang berada di posisi Don. Anak-anak seperti Don, harus disingkirkan, atau dalam bahasa yang lebih halus, kita mengatakan, harus memperoleh Pendidikan Khusus dan dipisahkan dari anak-anak “normal” lainnya.

Memang, ada beragam program dan terapi yang bisa membantu anak-anak ini untuk mengatasi masalah / gangguan perkembangannya. Ada terapi fisik, terapi wicara, terapi okupasi, dan banyak program lainnya yang akan membantu anak mengatasi masalah emosi dan perilaku. Tetapi kita mungkin lupa, bahwa yang dibutuhkan oleh Don serta anak-anak berkebutuhan khusus lainnya tidak hanya berbagai program terapi, melainkan juga perasaan untuk diterima oleh lingkungannya.

Don dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya adalah juga ANAK-ANAK seperti layaknya anak-anak kita yang “normal”. Mereka butuh lingkungan yang mendukung, dimana mereka bisa bertumbuh dan berkembang pula dengan optimal.

Segala macam bentuk usaha untuk menyingkirkan anak-anak yang memiliki gangguan perkembangan seperti Don, adalah perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Memang, akan ada resiko, akan ada usaha ekstra keras, akan ada banyak kerepotan yang bakal terjadi, bila kita mengijinkan Don hidup bersama dalam sebuah komunitas degan anak-anak kita yang “normal”. YA. Tetapi ini adalah kesempatan sekaligus hak istimewa bagi kita untuk mewujudkan Kasih Kristus dalam tindakan nyata!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar