MENURUT data Indonesian Society for Special Needs Education (ISSE) -- lembaga yang fokus memperhatikan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia --, sekira 2,6 juta lebih anak berkebutuhan khusus (special needs) usia sekolah di Indonesia. Dari jumlah tersebut, yang masuk ke sekolah khusus hanya mencapai sekira 48 ribu orang, atau 1,83% saja. Artinya, ada lebih dari 98% anak berkebutuhan khusus belum dilayani haknya atas pendidikan.
Oleh karena itu, pemerintah kemudian memperkenalkan program inklusif anak-anak berkebutuhan khusus tidak hanya bisa bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) tetapi dapat pula diterima di sekolah umum. Namun, untuk itu, tentu saja perlu berbagai persiapan di sekolah umum tersebut sehingga proses belajar anak berkebutuhan khusus dapat terpenuhi sekaligus tidak mengganggu proses belajar anak-anak lainnya.
Selain butuh sumber daya manusia pendidik yang mengerti cara menangani anak-anak berkebutuhan khusus, sekolah perlu pula memiliki berbagai perlengkapan fisik sebagai alat bantu belajar. Mungkin, itu sebabnya hingga kini belum banyak sekolah umum memiliki program inklusif.
Berikut wawancara dengan Kepala Sekolah Dasar 9 Mutiara Bandung Alva Handayani, belum lama ini. SD 9 Mutiara Bandung merupakan salah satu sekolah umum yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini masih dikhususkan pada anak-anak penderita autisme.
Seperti apa sih anak-anak berkebutuhan khusus?
Mereka adalah anak-anak yang memiliki keterbatasan intelektual, emosi, dan sosial. Jadi, bukan hanya keterbatasan fisik karena ada anak-anak yang terbatas secara sosial tetapi tidak cacat fisik. Tetapi, jangan juga para orang tua melakukan deteksi terlalu dini sehingga menilai secara gampang anak-anaknya yang hiperaktif atau cenderung tidak banyak bersosialisasi sebagai anak dengan kebutuhan khusus.
Mereka butuh pendidikan khusus kan?
Anak-anak yang memiliki keterbatasan itu memerlukan penanganan khusus. Selama ini, jalur pendidikan yang ada untuk mereka biasanya sekolah luar biasa (SLB) atau terapi-terapi di luar sekolah. Masyarakat kita masih menganggap pendidikan formal sebagai segala-galanya. Masalahnya, bagi sebagian orang tua, SLB sebagai jalur pendidikan formal masih dipandang "menakutkan". Di sisi lain, terapi di luar sekolah seringkali tidak memasukan unsur akademik bagi sang anak. Para orang tua seringkali kebingungan harus bagaimana, padahal mereka tidak hanya memikirkan bagaimana menangani keterbatasan anak-anak itu, tetapi juga memikirkan masa depan mereka.
**
SELAIN memegang profesi baru sebagai kepala SD, Alva Handayani dikenal pula sebagai psikolog perkembangan anak dan remaja. Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba) ini pernah menjadi pengisi rubrik psikologi di sejumlah radio di Bandung. Kini, dia terlibat di rubrik konsultasi psikologi remaja untuk Radio Ninetyniners FM Bandung, serta pimpinan lembaga konsultasi dan manajemen Sumber Daya Manusia Open Mind yang baru-baru ini ditunjuk menyeleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung.
**
Sekolah umum bisa menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus ini?
Bisa, tetapi memang ada tingkatan-tingkatan tertentu. Bagi yang masuk kategori berat tentu butuh penanganan lebih khusus lagi, dan program seperti ini di sekolah umum pun tidak berarti akan meniadakan fungsi SLB. Mereka yang masih belum termasuk tingkat berat, tidak semua fungsi tubuhnya terganggu. Ada fungsi-fungsi yang masih bisa dioptimalkan, di sana para guru termasuk guru pendamping khusus mereka, memainkan perannya.
Bagaimana teknisnya?
Anak-anak berkebutuhan khusus itu digabung bersama dengan anak-anak lainnya, tetapi mereka memiliki guru pendamping khusus. Contoh kasus di sekolah kami, setiap kelas bisa menerima dua anak dengan kebutuhan khusus, setiap anak itu akan didampingi seorang guru khusus. Kami menamakannya individualized education program, guru pendamping diambil dari yang berkualifikasi psikologi atau pendidikan luar biasa (PLB).
Tidak mengganggu proses belajar anak-anak lain?
Anak-anak ini tidak sepenuhnya ikut di dalam kelas umum, tetapi punya ruang dan waktu khusus juga untuk mereka sendiri. Penggabungan ini membantu proses sosialisasi, baik untuk anak berkebutuhan khusus maupun anak umum. Keuntungan bagi anak umum, mereka bisa belajar toleransi terhadap perbedaan. Anak-anak umum itu diajarkan bahwa perbedaan semacam itu ada di masyarakat, diharapkan secara psikologis juga memberi dampak positif sehingga anak umum tidak menuntut terlalu banyak kepada orangtua atau bisa saling menghargai.
thansk infonya.......
BalasHapusSlmt pagi bu. Saya ingin bertanya, bagaimana jika di sekolah formal itu blm ada guru pendamping?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus