Sabtu, 29 Mei 2010

Interaksi Dini dengan Anak Penyandang Buta Tuli/Tuna rungu

Oleh Deborah Gleasson

Semua bayi berkomunikasi. Dengan melalui komunikasi, hubungan dibentuk dan dipertahan. Orang tua harus belajar cara menafsirkan dan memberi tanggapan terhadap komunikasi yang dilakukan bayi mereka dalam upaya membentuk ikatan (batin) yang akan menjadi dasar perkembangan selanjutnya. Namun, ketika anak Anda adalah penyandang buta tuli/deaf blind, Anda mungkin sulit untuk memahami apa yang ia coba katakan kepada Anda dan anda mungkin juga tidak begitu yakin dengan cara anda berinteraksi dan berkomunikasi dengannya dengan sebaik-baiknya. Kami mencoba berbagi gagasan untuk membantu anda untuk menemukan cara-cara anda mengupayakan agar dunia anak anda aman dan dapat dipahami, dan cara anda dan anak anda yang masih kecil bertukar “pembicaraan” secara menyenangkan.

Anda tidak perlu menjalani upaya-upaya ini sendirian. Para professional di berbagai bidang akan membantu anda. Berbagai kelompok dan perorangan akan menawarkan bantuan pelayanan untuk anda. Mereka semua akan membantu Anda, namun untuk jangka panjang, andalah sebagai orang tua bersama keluarga anda, yang akan memberi pengaruh pada anak anda. Anak anda akan dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai jenis interaksi yang anak anda lakukan dengan ANDA. Hubungan yang dilandasi kepercayaan dan perhatian yang anda bangun dengan anak anda akan membentuk landasan bagi anak anda itu untuk menjelajahi dan menemukan suatu dunia yang senantiasa berkembang.

Dalam paparan ini kami akan menyajikan banyak cara dimana anda dapat berinteraksi dengan anak anda yang masih kecil. Kami menawarkan saran-saran praktis untuk memberikan isyarat-isyarat sensorik yang konsisten kepada anak anda. Di samping itu kami juga menyarankan berbagai cara yang dapat dipahami dan kemudian memberikan tanggapan terhadap respon anak anda. Kami juga menyertakan teknik-teknik yang mendorong eksplorasi lingkungan. Akhirnya, kami menyampaikan beberapa gagasan mengenai permainan sederhana yang tidak hanya menyenangkan, namun juga membantu mengembangkan interaksi dan komunikasi.

Pemandangan dari dalam Tempat Tidur Bayi


Indera penglihatan dan indra pendengaran sering merujuk pada “indera-indera jarak”, yakni, bahwa mereka menghubungkan anak dengan dunia yang terentang di luar jangkauan ruang tubuhnya. Anak–anak yang melihat dan mendengar mempelajari bahasa dan konsep-konsep penting tanpa melalui pengajaran yang terencana secara khusus. Mereka hanya belajar di tengah –tengah orang yang menggunakan bahasa dan dengan memiliki akses yang tersedia terhadap lingkungan yang aman, menarik dan mengundang eksplorasi. Indera pendengaran dan indera penglihatan membantu anak mengorganisasikan informasi dari lingkungannya. Namun, anak kecil yang buta tuli/deaf blind tidak memiliki akses terhadap kesempatan untuk “belajar secara insidental” dan informasi yang didapatkan anak melalui kontak dengan orang dan lingkungan sering terpecah-pecah dan terdistorsi.

Anak yang melihat dan mendengar melakukan antisipasi terhadap kejadian sehari-hari karena penglihatan dan suara yang berkaitan kegiatan-kegiatan itu dan dapat mempersiapkan diri terlebih dahulu untuk melakukan kegiatan-kegiatan itu. Bayi penyandang buta tuli/ deaf blind kehilangan isyarat-isyarat ini karena keterbatasan penglihatan dan pendengarannya, dan mungkin menganggap dunia sebagai tidak-dapat diprediksi, membingungkan dan bahkan menakutkan. Anak ini memerlukan bantuan orang lain memahami dunia luar. Dari sudut pandang anak, apa artinya menyandang buta tuli/deaf blind? Banyak hal yang terjadi mungkin menjadi “kejutan” yang tidak menyenangkan. Dia mungkin tidak memahami atau tidak dapat mengantisipasi apa yang terjadi terhadap dirinya. Ia mungkin mencoba berkomunikasi, namun isyarat yang digunakannya sedemikian subtle (tidak kentara) sehingga sulit bagi orang lain untuk memahaminya. Ia mungkin juga menganggap bahwa memahami upaya keras orang tuanya untuk berkomunikasi tidak mudah. Mari kita lihat suatu hal yang dilakukan --sehari-hari mengganti popok (diaper).—namun mari kita lakukan dan lihat dari sudut pandang bayi.

Meg baru saja terjaga dari tidurnya dengan popok yang kotor. Dia akan sedikit rewel agar ayahnya tahu bahwa ia terbangun. Ia akan mendongak ketika ia mendengar suara langkah kaki dan pintu dibuka untuk melihat ayahnya berjalan menuju tempat tidur bayinya. Ia mendengar ayahnya berbicara kepadanya, ketika ayahnya membungkuk di atas tempat tidurnya dan mengangkat serta membawanya ke tempat mengganti popok (diaper). Meg mengenali tempat ia berada dari beberapa pengalaman sebelumnya berada ditempat itu. Ia tahu siapa yang datang. Dia melihat ayahnya mengambil tas dari rak, membukanya, dan mengambil popok (diaper) yang baru dan kering. Kemudian ia melihat ayahnya meraih kotak kecil persegi yang terbuat dari plastik, membukanya, menarik tissu lembab sekali pakai, menutupnya kembali dan menaruhnya ke dalam rak lagi. Setelah ayahnya melepas popok (diaper) basahnya, Meg melihat ayahnya membuka tutup ember bulat, dan membuang diaper ke dalam ember tersebut dan kemudian menutupnya kembali. Sesaat dirinya dibersihkan, ia dapat menjejak-jejakan kakinya dengan leluasa terbebas dari selimutnya yang tebal. Meg mulai belajar mengantisipasi kegiatan rutin sehari-hari dan mulai membangun pemahaman atas beberapa konsep penting seperti ketetapan suatu benda /Obyek permanen yaitu sesuatu yang tetap ada bahkan bila saya tidak dapat melihat, mendengar, atau merasakannya) “ruang/wadah “ ( keluar/ masuk, buka/ tutup, ukuran, bentuk) dan organisasi ruang.

Alex baru saja bangun dengan popok (diaper) yang berantakan juga. Ia menyandang tuna rungu, namun dapat melihat wajah dan benda-benda berwarna terang ketika objek-objek tersebut tidak lebih dari 18 inci darinya. Ia tidak mendengar ibunya masuk ke kamarnya dan terkejut tiba-tiba melihat seseorang datang bergerak di atas tempat tidurnya. Karena popoknya berantakan dan Alex tidak suka diganti popoknya, ibunya memutuskan untuk mengganti popoknya dengan cepat di tempat tidur bayinya, sehingga mereka dapat tetap melakukan kegiatan-kegiatan bermain lebih banyak. Mulai saat itu, Alex mulai mengenali ibunya dari sentuhan dan kedekatannya dan berharap diangkat untuk bermain namun tiba–tiba ia bingung. “Apa gerangan yang terjadi dengan kakiku”? Mengapa aku kedinginan? Benda apakah yang dingin dipantatku? Aku benar-benar tidak suka. Mungkin, kalau aku menggeliat-geliat, rasa dingin itu akan hilang. Aduh, ternyata tidak ada pengaruhnya. Bagaimana kalau aku mengeraskan badanku sedkit? Masih nggak ada pengaruhnya. Kukira aku harus menangis. Akhirnya, Aku kembali memakai baju kering yang hangat, dan ibu memelukku. Meskipun demikian, aku tak yakin bahwa salah satu dari kita sedang ingin bermain-main.

Michelle berisik & merengek karena ia baru saja bangun terjaga dengan popoknya yang berantakan. Ia tuna netra dan agak kehilangan pendengarannya. Ibunya mendekati tempat tidur Michelle dan dengan lembut meletakkan tangganya ke dada Michelle dan menyapanya dengan isyarat khusus “Hallo”, kemudian diam sejenak, dan dengan lembut menarik tangan Michelle untuk menyentuh rambut ibunya, yang merupakan “nama isyarat” ibunya. Michelle menjadi tenang dan menggapaikan tangannya untuk menyentuh muka ibunya. Ini menjadi sapaan khusus. (Ia tahu bahwa ini ibunya yang akan mengangkatnya, bukan ayahnya dari rasanya menyentuh rambut ibunya, bukan dagu Ayahnya yang kasar). Michelle merasakan tangan ibunya yang dengan lembut mengangkatnya ke lengannya ketika ia mengucapkan sesuatu yang mirip bunyi “ angkat ke atas”. Ibu menunggu sampai Michelle mulai mengangkat kepala untuk menunjukkan bahwa ia sudah siap, kemudian ia mengangkatnya. Michelle bertanya-tanya apa yang akan mereka lakukan berikutnya, kemudian merasakan kain lembut alas meja ganti di bawah dirinya. Ia menjejak-jejakkan kakinya dan merasakan adanya kertas yang ada di kaki meja ganti yang dipasangkan dengan hati-hati oleh saudara perempuannya. Ia merasa rileks, karena ia tahu wajah-wajah yang mereka kenal. Ia merasakan ibunya menyentuh popoknya, dan kemudian merasakan adanya popok bersih baru di dekat tangannya. Michelle menarik dan dengan senang memain-mainkannya dengan tangannya selagi ibunya membersihkan pantatnya. Alangkah menyenangkan menjejak-jejak kertas milar dan merasakannya bergerak tanpa halangan selimut dan baju tidurnya. Ia merasakan ibunya dengan lembut mengangkat bawah lengannya. Ia mendengar suara seperti “angkat” lagi. Ia merasa rileks atas dipundak ibunya dan mereka pergi bermain-main bersama.

Sumber : nationaldb.org

ABD, Membantu Anak Tunarungu Hidup Normal

Dewi Arta - Okezone

TIDAK semua anak terlahir sempurna, beberapa di antara mereka, ada yang terlahir dengan kekurangan. Salah satu kekurangan tersebut adalah gangguan dalam pendengaran.

Di Indonesia, tanpa disadari kasus pendengaran gangguan cukup memprihatinkan. "Menurut data yang didapat dari Departemen Kesehatan 1,5 persen dari masyarakat Indonesia terlahir tunarungu," papar ketua FNKTRI (Federasi Nasional untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) Drs Totok Bintoro saat ditemui di Gedung Optik Malewai, Salemba, Jakarta Pusat, belum lama ini.

Melihat kondisi yang cukup memprihatinkan itu, Pusat Alat Bantu Dengar Melawai (PADB Melawai) mendonasikan 100 buah Alat Bantu Dengar (ADB) bagi masyarakat Indonesia, khususnya untuk anak-anak.

Donasi ini pula diberikan dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional 2009 serta menyambut HUT RI ke 64. Sebanyak 80 orang mendapatkan ABD di antaranya mereka yang berusia 4-18 tahun, sedangkan 20 orang lainnya adalah orang dewasa yang berusia 20-50 tahun yang aktif bekerja, namun masih kurang mampu membeli ABD.

"Dasar pertimbangan untuk memberikan bantuan terutama kepada anak-anak usia sekolah karena ABD sangat dibutuhkan mereka dalam proses kegiatan belajar. Seperti yang kita ketahui, pengembangan bahasa sangat diperlukan agar mereka mampu berprestasi seperti anak-anak normal. Sehingga mereka pun dapat mengembangkan seluruh potensi akedemik, disamping tentunya kemampuan lainnya seperti kemampuan bersosialisasi," tutur Direktur Pusat Alat Bantu Dengar Melawai Priscilla R.K Bahana.

ADB memang perlu segera diberikan pada mereka yang membutuhkan, karena jika gangguan pendengaran itu dibiarkan saja, bisa memacu anak jadi bisu.

"Jika insan-insan tunarungu ini tidak mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi dengan tepat dan semestinya seperti pemeriksaan pendengaran yang tepat dengan mengembangkan kemampuan bahasa oral aural dengan baik, mereka akan tetap menjadi manusia bisu," ungkap Audiologist dan pakar pendidikan anak tunarungu dari PABD Melawai Drs Anton Subarto, Dipl Aud.

Senada dengan Anton, Drs Totok Bintoro mengimbau agar kaum tunarungu mendapat perlakukan yang sama seperti manusia normal lainnya.

"Harapannya menghimbau pada lembaga-lemabag agar semakin terpanggil, karena tunarungu tidak identik dengan bisu. Dan kepada orang tua jangan putus asa, tapi dampingi anak dengan penuh kasih sayang. Untuk masyarakat umum, jangan posisikan tunarungu di tempat yang berbeda dari orang normal. Jadi tidak perlu malu mengenakan Alat Bantu Dengar," imbuhnya.

ADB yang sedianya berfungsi membantu pendengaran seseorang agar lebih baik, tak bisa dipinjamkan kepada orang lain. Pasalnya, setiap ADB diberikan kepada setiap orang yang butuh berdasarkan tingkat ketuliannya.

"Alat Bantu Dengar ini tidak bisa dipinjamkan karena hal ini berkaitan erat dengan tingkat ketulian anak, baik itu sedang, berat atau tuli, karena belum tentu cocok. ABD ini digaransi 1 tahun dan bisa diperbaiki di pusat ABD Melawai," ucap Anton.

Donasi 100 ABD ini dilakukan secara efektif dimulai dari serangkaian pemeriksaan audiologi atau pendengaran untuk menentukan ABD yang cocok bagi para tunarungu. Setelah itu, dilakukan proses pencetakan yang disesuaikan agar mereka nyaman saat mengenakan ABD. Lalu, pemasangan di daun telinga.

"Semoga kegiatan ini dapat terus kami lakukan setiap tahun sebagai upaya berpartisipasi dalam usaha memajukan dan mencerdaskan bangsa Indonesia," harap Priscilla mengakhiri pembicaraan.(nsa)

Cara Membantu Anak Mengatasi Gangguan Belajar, Tips Bagi Orang Tua

Anak yang mengalami gangguan belajar sering kali akan menunjukkan gangguan perilaku. Hal ini bisa berdampak pada hubungan pasien dengan orang-orang di sekitarnya (keluarga, guru dan teman-teman sebaya). Untuk itu anak perlu didampingi untuk menghadapi situasi ini.

Orang tua merupakan guru yang pertama dan terdekat dengan anak. Dengan demikian, peran orang tua sangat penting untuk mengenali permasalahan apa yang dialami anak. Selain itu, penting juga untuk menemukan kekuatan atau kemampuan yang dimiliki anak. Hal ini akan membantu orang tua mendukung anak mengembangkan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri anak.

Tugas anak adalah bermain, maka proses belajar pun sebaiknya menjadi proses yang menyenangkan untuk anak. Apalagi pada anak dengan gangguan belajar, penting untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan tidak membebani anak. Kenali hal apa yang membuat anak merasa senang. Misalnya, jika anak tersebut menyukai lagu tertentu, ajak anak itu belajar sambil memutarkan lagu tersebut. Ijinkan anak membawa mainan kesayangannya saat belajar. Jika anak senang dengan suatu obyek tertentu, misalnya kereta api, sertakan bentuk kereta api dalam pelajaran. Sebagai contoh, anak dengan gangguan berhitung, saat belajar berhitung dapat digunakan gambar kereta api yang dia senangi.

Anak dengan gangguan belajar juga bisa mengalami perasaan rendah diri karena ketidakmampuannya atau karena sering diejek oleh teman-temannya. Untuk itu, penting bagi orang tua memberikan pujian jika ia berhasil melakukan suatu pencapaian. Misalnya, bila suatu kali anak berhasil mendapat nilai yang cukup baik atau mengerjakan tugas dengan benar, maka orang tua hendaknya memberi pujian pada anak. Hal ini akan memotivasi anak untuk berbuat lebih baik, meningkatkan rasa percaya diri dan membantu anak merasa nyaman dengan dirinya.

Keterlibatan pihak sekolah juga perlu diperhatikan karena sebagian besar waktu belajar anak ada di sekolah. Diskusikan dengan guru kelas mengenai kesulitan dan kemampuan anak dalam belajar. Posisi tempat duduk anak di kelas juga bisa membantu anak untuk lebih berkonsentrasi dalam belajar. Akan lebih baik jika anak duduk di depan kelas sehingga perhatiannya tidak teralih ke anak-anak lain atau ke jendela kelas.

Masalah gangguan belajar penting sekali dipahami oleh orang tua dan guru sehingga dapat mendukung dan membantu anak dalam belajar. Jika ditangani dengan tidak benar maka hanya akan menambah permasalahan pada anak. Deteksi dan konsultasi dini pada anak yang diduga mengalami gangguan belajar menjadi faktor penting sehingga anak dapat segera ditangani dengan tepat. Kerja sama antara orang tua, guru dan profesional kesehatan jiwa (psikiater dan psikolog) diperlukan untuk membantu anak menghadapi permasalahan gangguan belajar tersebut.

www.kabarindonesia.com

Deteksi Dini Gangguan Belajar pada Anak

Gangguan belajar pada anak penting untuk dideteksi sejak dini. Hal ini karena gangguan belajar dapat mempengaruhi perasaan dan perilaku anak. Perilaku anak dengan gangguan belajar dapat diamati saat di kelas. Anak biasanya tidak dapat duduk tenang di tempatnya, lambat menyelesaikan tugas atau bahkan tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan. Hal ini sebetulnya merupakan bentuk penghindaran dari mengerjakan tugas yang dirasanya sulit.
Perkembangan anak sejak kecil juga bisa merupakan pertanda kemungkinan terjadinya gangguan belajar pada usia sekolah dasar. Anak dengan keterlambatan bicara (belum bisa mengucapkan kalimat sederhana di usia 2 tahun), bisa merupakan faktor prediksi terjadinya gangguan belajar. Gangguan koordinasi motorik, terutama pada usia menjelang taman kanak-kanak, juga bisa menjadi faktor prediksi terjadinya gangguan belajar.

Jika orang tua atau guru melihat tanda-tanda adanya gangguan belajar pada anak, perlu segera dikonsultasikan kepada dokter. Pertama kali dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Karena seringkali gangguan pada penglihatan dan pendengaran juga dapat mengganggu kemampuan belajar anak. Pemeriksaan psikologis seperti tingkat kecerdasan (tes IQ), juga perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya tingkat kecerdasan yang kurang, seperti pada retardasi mental. Selain itu, diperiksa juga kemungkinan adanya gangguan jiwa lain seperti autisme, gangguan pemusatan perhatian dan perilaku, atau gangguan kecemasan.

www.kabarindonesia.com

Memahami Gangguan Belajar pada Anak Sekolah Dasar

Oleh : Astri Parawita Ayu | 19-Jan-2007, 23:51:35 WIB

Proses belajar anak usia Sekolah Dasar merupakan kondisi yang sangat penting sebagai landasan pendidikan anak. Namun demikian, kondisi belajar tersebut terkadang mengalami gangguan yang tentu saja dapat mempengaruhi proses belajar anak. Gangguan belajar terutama pada anak Sekolah Dasar merupakan suatu gejala, yang bisa menjadi bagian dari suatu gangguan tertentu, namun dapat pula sebagai kondisi tersendiri.

Gangguan belajar bisa merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa, seperti retardasi mental, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif, gangguan autisme atau gangguan cemas pada anak. Sedangkan gangguan belajar yang berdiri sendiri, bisa dalam bentuk gangguan membaca (disleksia), gangguan menulis (disgrafia) atau gangguan berhitung (diskalkulia).

Gangguan Membaca (Disleksia)
Gangguan membaca merupakan suatu diagnosis yang ditandai oleh adanya kesulitan berat dalam kemampuan membaca (mengerti bahan bacaan). Kesulitan ini tidak sesuai dengan yang dialami anak lain seusianya dan tidak sesuai dengan kemampuan kognitifnya. Gangguan membaca ini juga tidak berhubungan dengan adanya gangguan perkembangan fisik, motivasi yang kurang, pendidikan yang kurang adekuat, masalah sosial ekonomi dan gangguan pada sistem sensorik (penglihatan dan pendengaran).

Gangguan berhitung (diskalkulia)
Gangguan berhitung atau gangguan matematik merupakan kesulitan dalam kemampuan aritmatik; termasuk berhitung dan menyelesaikan soal-soal aritmatik. Kesulitan ini tidak sesuai dengan kemampuan anak seusianya, tingkat kecerdasan dan pendidikan yang dijalaninya. Selain itu, kesulitan ini juga tidak disertai dengan adanya gangguan penglihatan, pendengaran, fisik atau emosi. Juga tidak berhubungan dengan lingkungan, kultur atau ketidakmampuan ekonomi.

Gangguan Menulis (Disgrafia)
Gangguan menulis merupakan gangguan pada kemampuan menulis anak yaitu kemampuan di bawah rata-rata anak seusianya. Gangguan ini tidak sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pendidikan yang telah dijalaninya. Hal tersebut menimbulkan masalah pada akademik anak dan berbagai area kehidupan anak. Menulis merupakan proses penyelesaian masalah (problem solving); yang melibatkan kemampuan penulis dalam menghasilkan bahasa yang dapat dimengerti serta merefleksikan kemampuan dan opini penulis tentang suatu topik.

sumber : www.kabarindonesia.com

Luar Biasanya Otak si Anak Savant Syndrome

Merry Wahyuningsih - detikHealth

Wisconsin, Seorang anak laki-laki di Milwaukee mampu menghapal jadwal bus dan menyebutkan dimana bus-bus tersebut berada sepanjang hari. Ada juga anak yang dapat menyusun puzzle yang rumit tanpa ragu meski dengan potongan terbalik sekalipun. Anak yang lain dapat menguraikan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari tertentu.

Keajaiban-keajaiban ini membuat Dr Darold Treffert seorang profesor klinis di University of Wisconsin Medical School terus mencari tahu bagaimana otak manusia mampu menghasilkan prestasi luar biasa seperti yang disaksikannya di tempatnya bekerja selama 44 tahun.

Treffert menyadari bahwa anak-anak tersebut memiliki kelainan savant syndrome (sindrom sarjana atau kemampuan orang yang sangat terpelajar). Dari sinilah ia memulai pencarian untuk memahami bagaimana orang-orang yang cacat mental berat kadang-kadang dapat menunjukkan apa yang disebutnya 'pulau jenius.'

Savant syndrome atau kadang disingkat savantism bukan merupakan diagnosis medis yang diakui. Hingga kini masih belum diketahui apa penyebab savant syndrome tersebut. Meskipun sindrom ini hampir mirip dengan penderita autis.

Tetapi Treffert menjelaskannya sebagai kondisi langka yang mana orang-orang dengan gangguan perkembangan termasuk gangguan autisme memiliki satu atau lebih bidang keahlian, kemampuan atau kecemerlangan yang kontras dengan orang normal kebanyakan.

Dalam jurnalnya yang bertajuk 'Savant Syndrome: An Extraordinary Condition' yang ditulis Treffert ada beberapa hal yang dapat diketahui mengenai keajaiban anak savant syndrome:

1. Sebagian penderita autis menunjukkan kemampuan-kemampuan savant.
Sekitar separuh dari orang-orang dengan savant syndrome memiliki gangguan autistik, sementara separuh lainnya lagi cacat, keterbelakangan mental, kerusakan otak atau penyakit. Namun tidak semua penderita autis memiliki savant syndrome dan tidak semua savant syndrome adalah penderita autis.

2. Jumlah penderita autis dan savant syndrome lebih banyak laki-laki.
Secara normal, otak kiri lebih dulu berkembang dibanding otak kanan. Namun menurut sebuah penelitian, pada janin laki-laki umumnya beredar testosteron yang dengan tingkat yang sangat tinggi sehingga dapat memperlambat pertumbuhan dan fungsi kerusakan saraf yang lebih rentan terjadi pada otak kiri. Inilah yang menyebabkan jumlah laki-laki penderita savant syndrome lebih banyak dibandingkan perempuan.

3. Penderita savant syndrome memiliki keterampilan khusus yang menarik.
Treffert mengelompokkan kecemerlangan savant syndrome dalam 5 kategori umum, yaitu keahlian musik, seni, penghitungan kalender, matematika, dan mekanikal atau kemampuan spasial.

4. Penderita savant syndrome memiliki daya ingat yang luar biasa.

5. Savant syndrome bisa merupakan bawaan sejak lahir atau diperoleh karena adanya cedera atau penyakit otak yang terjadi pada masa bayi, masa kanak-kanak atau dewasa.

6. Keterampilan yang dimiliki savant syndrome biasanya tidak bisa hilang dan jika terus dilatih dan digunakan akan terus meningkat.

Hingga sekarang belum ada teori yang dapat menjelaskan tentang savant syndrome secara pasti. "Saya telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa jika kita dapat menjelaskan tentang savant syndrome maka kita tidak akan bisa menjelaskan tentang diri kita sendiri," kata Treffert seperti dilansir CNN, Senin (1/3/2010).

Tokoh-tokoh dunia yang mengidap savant syndrome antara lain Matt Savage seorang pianis jazz. Adapula Stephen Wiltshire dan George Widener dua orang savant yang luar biasa.

Sekolah Umum Harus Siap Tampung Anak Berkebutuhan Khusus

Merry Wahyuningsih - detikHealth

Jakarta, Jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang memasuki usia sekolah terus meningkat. Tapi sayangnya pendidikan mereka kerap terhambat oleh keterbatasan sarana pendidikan yang dimiliki oleh sekolah umum mulai dari taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan atas.

Jumlah anak penderita autis dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1987, rasio anak autis adalah 1:5.000, ini berarti diantara 5.000 anak ada satu anak autis.

Angka ini meningkat tajam setelah 10 tahun (1997) yakni menjadi 1:500, kemudian menjadi 1:150 pada tahun 2000. Para ahli memperkirakan pada tahun 2010 ini penderita autis akan meningkat mencapai 60 persen dari keseluruhan populasi dunia.

Data Ditjen Dikti menyebutkan di Indonesia terdapat 811 sekolah inklusi yang diperuntukkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan jumlah total 15.144 siswa. Namun jumlah ini belum dapat menampung seluruh anak dengan kebutuhan khusus yang ada di Indonesia.

Melihat fenomena ini, Dirjen Dikti Prof.Dr.H.Fasly Djalal, MBA, MSI dalam jumpa pers, Senin (1/3/2010) mengatakan akan memberikan dukungan bagi sekolah-sekolah umum agar mereka lebih siap dan terbuka untuk menerima dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus. Pengajar juga akan dibekali wawasan mengenai pendidikan untuk 'dunia kebutuhan khusus'.

Menurut Fasly, ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan pendidikan anak berkebutuhan khusus, yaitu sistem guru, mengembangkan P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dan LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan), serta intensif sekolah yang mau menerima anak dengan kebutuhan khusus.

Diharapkan wacana ini akan semakin intensif dibahas dalam seminar "Indonesian Conference on Children with Special Needs-Multi Perspectives in Inclusion" yang akan diadakan pada 11-12 Maret 2010 di gedung Direktorat Pendidikan Tinggi.

Seminar yang digelar oleh Ditjen Dikti, Kementerian Pendidikan Nasional yang berkolaborasi dengan IndoCARE (Indonesia Center for Autism Resource and Expertise) itu sekaligus menyambut Hari Peduli Autism Sedunia tanggal 2 April mendatang.

Konferensi ini digelar sebagai bentuk kepedulian pemerintah dan swasta terhadap pendidikan inklusi yang memang sangat dibutuhkan oleh anak-anak dengan kebutuhan khusus. Karena anak berkebutuhan khusus berhak mengenyam pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 45 pasal 31 yang menekankan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali.

Melalui konferensi ini diharapkan peranan pemerintah dalam menjangkau anak-anak dengan kebutuhan khusus dapat lebih optimal. Sehingga anak-anak tersebut dapat memperolah pendidikan yang lebih layak, selain juga membekali orangtua dalam mendidik dan membimbing anak-anak yang berkebutuhan khusus.

Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Anak yang menderita autis jika kepalanya diperiksa dengan menggunakan CT Scan semuanya akan terlihat normal-normal saja.

Diduga autis terjadi karena jembatan yang menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat, dan sampai saat ini belum diketahui apa yang membuatnya terhambat. Sampai saat ini belum ada satu penyebab yang pasti mengakibatkan anak autis.

Jutaan Anak di Indonesia Berkebutuhan Khusus

YOGYAKARTA – Diperkirakan antara 3 – 7 persen atau sekitar 5,5 – 10,5 juta anak usia di bawah 18 tahun menyandang ketunaan atau masuk kategori anak berkebutuhan khusus. “Apabila ditambah dengan anak-anak yang menggunakan kacamata, jumlahnya akan lebih banyak lagi,” ungkap Prof dr Sunartini, SpA (K), PhD dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta di gedung senat perguruan tinggi itu, Kamis (28/5). Secara global, tuturnya, diperkirakan ada 370 juta penyandang cacat atau sekitar 7 persen populasi dunia, kurang lebih 80 juta di antaranya membutuhkan rehabilitasi. Dari jumlah tersebut, hanya 10 persen mempunyai akses pelayanan.

Istilah anak berkebutuhan khusus, kata dia, adalah klasifikasi untuk anak dan remaja secara fisik, psikologis dan atau sosial mengalami masalah serius dan menetap. Anak berkebutuhan khusus ini dapat diartikan mempunyai kekhususan dari segi kebutuhan layanan kesehatan, kebutuhan pendidikan khusus, pendidikan layanan khusus, pendidikan inklusi, dan kebutuhan akan kesejahteraan sosial dan bantuan sosial. “Selama dua dekade terakhir istilah anak cacat telah digantikan dengan istilah anak dengan kebutuhan kesehatan khusus,” jelasnya.

Menurut Sunartini, istilah anak dengan kemampuan dan kebutuhan khusus sebagai pengganti istilah anak cacat. Ini dinilainya manusiawi, tapi di Indonesia belum disepakati. Karena itu perlu ditetapkan dalam peraturan perundangan agar dapat dimasukkan sebagai program yang diutamakan di berbagai departemen yang berkaitan. Namun dia mengakui, masalah anak dengan kebutuhan khusus di bidang kesehatan belum menjadi prioritas, masih kalah dengan penyakit infeksi dan berbagai keadaan kurang gizi.

Selain itu, ia menambahkan, sampai saat ini terjadi keterbatasan dan belum disediakannya fasilitas khusus seperti jalan yang bisa dilalui kursi roda, jalan yang aman bagi anak dengan palsi serebral, jalan yang dibuat khusus bagi anak tuna netra hingga bisa mandiri sampai tujuan. Penggunaan jalan seringkali menyebabkan kesulitan bagi anak berkebutuhan khusus. Demikian juga fasilitas kesehatan, masih sukar dicapai para penyandang cacat, di samping petugas kurang tanggap.

Sunartini mengatakan, menghadapi terjadinya anak berkebutuhan khusus karena penyimpangan perkembangan otak, langkah yang paling tepat adalah mengenali atau mendeteksi dini kelainan yang ada, baik oleh penolong persalinan, tenaga kesehatan, serta masyarakat, terutama orangtua dan keluarganya. Setelah itu, diikuti penanganan atau intervensi dini, baik secara promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.

Banyak faktor penyebab gangguan pembentukan dan perkembangan otak anak sejak saat pembuahan, lahir, saat bayi, masa anak sampai remaja. Pada awal kehamilan terutama minggu kedua sampai keenambelas di saat pembentukan organ ada berbagai hal yang dapat menyebabkan pembentukan otak tidak sempurna atau rusak antara lain karena kekurangn gizi dan mikronutrien seperti iodium, zink, selenium, kekurangan asam folat, obat-obatan teratogenik seperti obat peluntur haid. Juga obat penenang seperti talidomid, keracunan logam berat seperti Hg atau Pb, infeksi intra uterin seperti TORCH dan kekerasan karena usaha pengguguran dengan pijatan.

Secara uji multivariat, bahan organik pada ibu hamil yang bekerja di pabrik menunjukkan adanya pengaruh kurang baik terhadap perkembangan motorik, tingkah laku, perhatian dan hiperaktivitas. Demikian halnya ibu yang mengalami depresi dalam periode satu tahun pertama dapat mengakibatkan gangguan perkembangan kognitif sampai umur 18 bulan gangguan tingkah laku, gangguan perkembangan sosial dan perilaku terutama pada anak laki-laki usia balita.nri/bur

Sumber: Republika Online

Terapi Oksigen HyperBaric Untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Medan, skalaindonesia.com
Kini para orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus semisal autis, celebral palsy (CP), epilepsi, down sindrome bisa mendapatkan alternatif terapi melalui terapi oksigen Hyperbaric atau disebut juga HBOT.
Goh Khoon Seng dari Poliklinik Baromed, Pusat Terapi Oksigen di Kuala Lumpur Malaysia didamping Rizman Dato’ Haji Azahar saat berbicara pada seminar Hyperbaric Oxygen Therapy dihadapan para orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengatakan meski belum dapat diterima secara ilmiah sebagai terapi pilihan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, namun ada rujukan yang menunjukkan kemajuan pada anak-anak tersebut.
“Meski ada tanda-tanda menunjukkan kemajuan pada anak-anak berkebutuhan khusus setelah menjalani HBOT, namun hal ini belum bisa diterima secara ilmiah sebagai terapi pilihan,” kata Goh Khoon Seng yang memberikan pemaparan HBOT di klinik HMC Jalan Hayam Wuruk Medan, pusat terapi anak berkebutuhan khusus (autis), Selasa (2/2).
Dijelaskan Goh Khoon Seng, HBOT merupakan terapi untuk menyalurkan kepada pasien oksigen 100 persen dengan tekanan yang lebih besar dari normal (biasanya setara dengan tekanan 5-10 meter dibawah air) melalui kamar (ruangan) yang didisain khusus. Tujuannya untuk menaikan jumlah ketersediaan oksigen pada orang tersebut.
Udara yang kita hirup terdiri dari 21 persen oksigen. Namun dengan menghirup oksigen 100 persen pada tekanan tinggi, oksigen dalam jumlah besar akan disalurkan ke jaringan dan larut dalam cairan tubuh, cairan plasma cerebrospinal dalam otak dan limpa. Oksigen di bawah tekanan larut dalam hemoglobin dan plasma hingga 15 kali lebih besar dari oksigen biasa.
Di Malaysia HBOT sudah mulai dikenalkan oleh Dr Mustapha Kamar Karim, salah seorang dokter yang banyak mempelajari tentang HBOT dan telah memiliki sertifikasi dasar dan lanjutan pada Officer Diving & Hyperbaric Medicine Course di Rumah Sakit Royal, Australia. Di Poliklinik Baromed para pasien HBOT akan dipandu oleh dr Mustapha Kamar Karim.
HBOT kata Goh Khoon Seng memiliki keefektifan terapi pada penderita diabetes sehingga tidak perlu diamputasi kakinya. Cara kerja HBOT, HBOT akan mengecilkan pembuluh darah dan mengurangi bengkak dan HBOT akan menambahkan kepekatan oksigen di kawasan tertentu.
HBOT juga merangsang pertumbuhan kolagen yang sangat diperlukan untuk memulihkan luka pada penderita diabetes. Terapi ini juga untuk memperkuat keupayaan sel-sel darah putih untuk membasmi bakteria, merangsang pertumbuhan dan pembukaan pembuluh darah.
HBOT hanya diberikan kepada pasien yang membutuhan oksigen medis. Oleh karenanya pemberian HBOT harus mengacu pada aturan yang telah ditetapkan yakni pasien yang menerima HBOT tidak dibolehkan menyelam (berenang boleh), tidak boleh naik pesawat terbang (minimal 24 jam setelah pemberian HBOT), jangan makan terlalu banyak, hindari makan/minuman bersoda, jangan menggosokan gigi 24 jam sebelumnya, jangan melakukan HBOT jika demam, HBOT juga tidak boleh diberikan pada penderita asma dan penyakit paru-paru.
Untuk anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan HBOT berdasarkan kasusnya dan biasanya sesuai dengan saran dokter, setelah melakukan HBOT, anak berkebutuhan khusus akan direkomendasikan kembali untuk melakukan HBOT dalam waktu 1-2 bula jika ada peningkatan yang baik.
Namun perlu diingat HBOT dilarang untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan keguguran pada kehamilan muda.(ril)

Jumat, 28 Mei 2010

DENTIFIKASI DINI DAN ASESMEN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

A. Hakekat Identifikasi Dini dan Asesmen

Istilah identifikasi dan asesmen sering dipergunakan secara bergantian. Secara harfiah seseungguhnya identifikasi berbeda dengan asesmen .

Identifikasi dini merupakan pada tahapan awal yang masih bersifat global/kasar dari asesmen yang lebih rinci dan hal detail. Tujuan dari identifikasi dini dan asesmen juga berbeda . Hal ini menyangkut kompetensi dan profesionalisme.

Identifikasi dini sering dimaknai sebagai proses penjaringan awal mungkin, sedangkan asesmen dimaknai sebagai penyaringan. Identifikasi dini Anak Berkebutuhan Khusus dimaksudkan sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social, emosional/ tingkah laku) seawal mungkin dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inkulusi. Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dapat dibagi menjadi:

  1. Tunanetra/ anak yang mengalami gangguan penglihatan;

  2. Tunanrungu/ anak yang mengalami gangguan pendengaran;

  3. Tunadaksa/ anak yang mengalami kelainan anggota tubuh/ gerakan;

  4. Anak Berbakat/ anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa;

  5. Tunagrahita;

  6. Anak lamban belajar;

  7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik (disleksia, disgrafia, atau diskalkulia);

  8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi; dan

  9. Tunalaras/ anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku


Sesuai keperluan pembelajaran dan layanan khusus lain yang sesuai dengan kebutuhan anak, dapat dilanjutkan dengan kegiatan asesmen.



Kegiatan asesmen ini lebih ditekankan pada upaya

  1. Asesmen akademik,

  2. Asesmen sensorik dan motorik,

  3. Asesmen pribadi dan sosial, dan

  4. Asesmen lain yang dianggap perlu.


Dengan asesmen akan diketahui kelemahan/ kesulitan anak dalam satu hal, kekuatan/potensi/kemampuan dan kelebihan anak dalam satu hal, serta kebutuhan layanan khusus yang diperlukan utnuk mengatasi satu hal.


B. Tujuan Identifikasi Dini


Secara umum tujuan identifikasi ini adalah untuk menghimpun informasi seawal munggkin apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis) atau tidak. Disebut mengalami kelainan/ penyimpangan tentunya harus dibandingkan dengan anak lain yang sebaya dengannya. Hasil dari identifikasi akan dilanjutkan dengan asesmen, yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan kemampuan dan ketidakmampuannya.

Dalam rangka pendidikan inklusi, kegiatan identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus dilakukan untuk lima keperluan, yaitu:

  1. penjaringan (screening),

  2. pengalihtanganan (referal),

  3. klasifikasi,

  4. perencanaan pembelajaran, dan

  5. pemantauan kemajuan belajar.

Adapun Penjelasan dari kegiatan tersebut sebagai berikut:

1. Penjaringan (screening)

Penjaringan dilakukan terhadap semua anak dikelas dengan Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus. Contoh alat identifikasi terlampir. Pada tahap ini identifikasi berfungsi menandai anak-anak mana yang menunjukan gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang mengalami kelainan/penyimpangan tertentu, sehingga tergolong Anak Berkebutuhan Khusus.

Dengan alat identifikasi ini guru, orang tua, maupun tenaga profesional terkait, dapat melakukan kegiatan penjaringan secara baik dan hasilnya dapat digunakan untuk bahan penanganan lebih lanjut.

2. Pengalihtanganan (referal)

Berdasarkan gejala-gejala yang dtemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya anak-anak dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, ada anak yang tidak peru dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai.

Kedua, ada anak yang perlu dirujuk ke ahli lain terlebih dulu (referal) seperti psikolog, dokter, orthopedagog (ahli PLB), dan atau therapis, baru kemudian ditangani oleh guru.

Proses perujukan anak oleh guru ke tenaga professional lain untuk membantu mengatasi masalah anak yang bersangkutan disebut proses pengalihtanganan (referral). Jika tenaga professional tersebut tidak tersedia dapat diminintakan bantuan ke tenaga lain yang ada seperti Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) atau Konselor.

3. Klasifikasi

Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang telah dirujukke tenaga professional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung dapat diberi pelayanan pendidikan khusus.

Apabila berdasar pemeriksaan tenaga professional ditemukan maslaah yan gperlu penanganan lebih anjut (misalnya pengobatan, therapy, latihan-latihan khusus, dan sebagainya) maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang tuasiswa yang bersangkutan. Jadi guru tidak mengobati dan atau memberi therapy sendiri, melainkan menfasilitasi dan meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak yang bersangkutan. Guru hanya akan membantu siswa dalam hal pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila tidak ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa anak yang bersangkutan memerlukan penanganan lebih lanjut, maka anak dapat dikembalikan ke kelas semula untuk mendapatkan pelayanan pendidikan khusus.

Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah mana Anak Berkebutuhan Khusus yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana yang langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler.

4. Perencanaan Pembelajaran

Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan penyusunan program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI). Dasarnya adalah hasil dari klasifikasi. Setiap jenis dan gradiasi (tingakt kelainan) Anak Berkebutuhan Khusus memerlukan program pembelajaran yang berbeda satu sama lain. Mengenai program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) akan dibahas secara khusus dalam buku yang lain tentang pembelajaran dalam pendidikan inklusi.

5. Pemantauan Kemajuan Belajar

Kemajuan belajar perlu dipantau untuk mengetahui apakah program pembelajaran khusus yang diberikan berhasil atau tidak. Apabil adalam kurun waktu tertentu anak tidak mengalami kemajuan yang signifikan (berarti), maka perlu ditinjau lagi beberapa aspek yang berkaitan. Misalnya apakah diagnosis yang dibuat tepat atau tidak, Program Pembelajaran Individual (PPI) yang disusun sesuai atau tidak, bimbingan belajar khusus yang diberikan sesuai atau tidak, dan seterusnya.

Sebaliknya, apabila dengan program khusus yang diberikan, anak mengalami kemajuan yang cukup signifikan maka program tersebut perlu diteruskan sambil memperbaiki/ menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada.

Dengan lima tujuan khusus diatas, identifikasi perlu dilakukan secara terus menerus oleh guru, dan jika perlu dapat meminta bantuan dan atau bekerja sama dengan tenaga professional terkait.


C. Sasaran Identifikasi

Secara umum sasaran identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus adalah seluruh anak usia pra- sekolah dan usia sekolah dasar. Sedangkan secara khusus (operasional), sasaran identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus adalah:

  1. Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah;

  2. Anak yang akan masuk ke Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah;

  3. Anak yang belum/ tidak bersekolah karena orangtuanya merasa anaknya tergolong Anak Berkebutuhan Khusus sedangkan lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya; sementara itu, semua SD terdekat belum/ tidak mau menerimanya;

  4. Anak yang drop-out Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah karena faktor akademik.

D. Petugas Identifikasi

Untuk mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong Anak Berkebutuhan Khusus atau bukan, dapat dilakukan oleh:

  1. Guru kelas;

  2. Orang tua anak; dan atau

  3. Tenaga proffesional terkait.


E. Pelaksanaan Identifikasi

Ada beberapa langakah dalam rangka pelaksanaan identifikasi anak berkebutuhan khusus. Untuk identifikasi anak usia sekolah yang belum bersekolah atau drop out sekolah, maka sekolah yan gbersangkutan perlu melakukan pendataan ke masyarakat sekitar kerjasama dengan Kepala Desa/ Lurah, RT, RW setempat. Jika pendataan tersebut ditemukan anak berkelainan, maka proses berikutnya dapat dilakukan pembicaraandengan orang tua, komite sekolah maupun perangkat desa setempat untuk mendapatkan tindak lanjutnya.

Untuk anak-anak yang sudah masuk dan menjadi siswa pada sekolah tertentu, identifikasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Menghimpun Data tentang Anak

Pada tahap ini petugas (guru) menghimpun data kondisi seluruh siswa dikelas (berdasar gejala yan gnampak pada siswa) dengan menggunakan alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (AI ALB). Lihat format 3 terlampir.

  1. Menganalisis Data dan Mengklasifikasi Anak

Pada tahap ini tujuannya adlaah untuk menemukan anak-anak yang tergolong Anak Bekebutuhan Khusus (yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus). Buatlah daftar nama anak yang diindikasikan berkelainan sesuai dengan ciri-ciri dan standar nilai yang ditetapkan. Jika ada anak yang memenuhi syarat untuk disebut atau berindikasi kelainan sesuai dengan ketentuan tersebut, maka dimasukan ke dalam daftar nama-nama anak yang berindikasi kelainan sesuai dengan format khususyang disediakan seperti terlampir (lihat format 4). Sedangkan untuk anak-anak yan gtidak menunjukan gejala atau tanda-tanda berkelainan, tidak perlu dimasukan ke dalam daftar khusus tersebut.

  1. Mengadakan Pertemuan Konsultasi dengan Kepala Sekolah

Pada tahap ini, hasil analisis dan klasifikasi yang telah dibuat guru dilaporkan kepada Kepala Sekolah untuk mendapat saran-saran pemecahan atau tindak lanjutnya.

  1. Menyelenggarakan pertemuan kasus (case conference)

Pada tahap ini, kegiatan dikoordinasi oleh Kepala Sekolah setelah data Anak Berkebutuhan Khusus terhimpun dari seluruh kelas. Kepala Sekolah dapat melibatkan: (1) Kepala Sekolah; (2) Dewan Guru; (3) orang tua/ wali siswa; (4) tenaga frofessional terkait, jika tersedia dimungkinkan; (5) Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) jika tersedia dan memungkinkan.

Materi pertemuan kasus adalah membicarakan temuan dari masing-masing guru mengenai hasil identifikasi untuk mendapatkan tanggapan dan cara-cara pemecahan serta penanggulangannya.

5. Menyusun laporan hasil pertemuan kasus

Pada tahap ini, tanggapan dan cara-cara pemecahan masalah dan penanggulangannya perlu dirumuskan dalam laporan hasil pertemuan kasus. Format laporan hasil pertemuan kasus, dapat menggunakan contoh seperti yang terlampir (lihat format 5)

6. Alat Identifikasi

Secara sederhana ada beberapa aspek informasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan identifikasi. Contoh alat identifikasi sederhana untuk membantu guru dan orang tua dalam rangka menemukenali anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus, antara lain sebagai berikut:

Form 1 : Informasi riwayat perkembangan anak

Form 2 : Informasi/ data orangtua anak/wali siswa

Form 3 : Informasi profil kelainan anak (AI-ALB)




Dari ketiga informasi tersebut secara singkat akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Informasi Riwayat Perkembangan Anak

Informasi riwayat perkembangan anak adalah informasi mengenai keadaan anak sejak di dalam kandungan hingga tahun-tahun terakhir sebelum masuk sekolah. Informsi ini penting, sebab dengan mengetahui latar belakang perkembangan anak, kita akan menemukan sumber penyebab problema mengajar. Informasi mengenai perkembangan anak sangat penting bagi guru sebagai pertimbangan dalam membuat program pembelajaran yang akan diberikan kepada anak. Informasi perkembangan anak mencakup identitas anak, riwayat masa kelahiran, perkembangan masa balita, perkembangan fisik, perkembangan sosial, dan perkembangan pendidikan.

Riwayat masa kehamilan dan kelahiran mei[uti perkembangan masa kehamilan, penyakit yang diderita ibu, usia di dalam kandungan, proses kelahiran, tempat kelhiran, penolong persalinan, gangguan pada saat proses kelahiran, berat badan bayi, dan tanda-tanda kelainan bayi. Perkembangan masa balita mencakup informasi mengenai lama menyusus ibunya, usia akhir minum susu kaleng,kegiatan imunisasi, penimbangan, kualitas dan kuantitas makanan pada masa balita, kesulitan makan yang dialami, dan sebagainya.

Perkembangan fisik diperlukan terutama data mengenai kapan anak mulai dapat merangkak, berdiri, berjalan, naik sepeda roda tiga, naik sepeda roda dua, berbicara dengan kalimat lengkap, kesulitan gerakan yang dialami, status gizi balita, dan riwayat kesehatan.

Perkembangan sosial terutama berkaitan dengan hubungan dengan sudara, hubungan dengan teman, hubungan dengan orang tua dan guru, hobi anak, dan minat khusus. Perkembangan pendidikan meliputi informasi mengenai kapan masuk TK, berapa lama pendidikan di T K, kapan masuk S D, apa kesul;itan selama di T K, apa kesulitan selama di S D, apakah pernah tinggal kelas, pelayanan khusus yang pernah diberikan, prestasi belajar tiap semester, mata pelajaran yang dirasakan paling sulit, dan mata pelajaran yang paling disenangi.





2. Data Orang Tua/ Wali Siswa

Selain data mengenai anak, tidak kalah pentingnya adalah informasi mengenai keadaan orang tua/wali siswa yang bersangkitan. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keberhasilan belajar anak. Lingkungan keluarga dapat meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, status sosial ekonomi, sikap dan penerimaan orang tua terhadap anak, serta pola asuh yang diterapkan keluarga terhadap anak.

Data orang tua/wali siswa sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai identitas orang tua/wali, hubungan orang tua-anak, data sosial ekonomi orang tua, serta tanggungan dan tanggapan orang tua/keluarga terhadap nak. Identitas orang tua harus lengkap, tidak hanya identitas ayah melainkan juga identitas ibu, misalnya umur, agama, status pendidikan, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, dan tempat tinggal. Hubungan orang tua-anak menggambarkan sejauh mana intensitas komunikasi antara orang tua dan anak, misalnya apakah kedua orang tua satu rumah atau tidak, demikian juga dengan anak. Apakah diasuh salah satu orang tua, pembantu, atau keluarga lain. Semua kondisi tersebut mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar anak.

3. Informasi Mengenai Profil Kelainan Anak

Informasi mengenai gangguan/kelinan anak sangat penting, sebab dari beberapa penelitian terbukti bahwa anak-anak yang prestasi belajarnya rendah cenderung memiliki gangguan/kelainan penyerta. Survei terhadap 696 siswa S D dari empat Provinsi di Indonesia yang rata-rata nilai rapornya kurang dari 6,0 (enam, nol), ditemukan bahwa 71,8% mengalami disgrafia, 66,8% disleksia, 62,2% diskalkulia, juga 33% mengalami gangguan emosi dan perilaku, 31 % gangguan komunikasi, 7,9% cacat (kelainan anggota tubuh, 6,6% gangguan gizi dan kesehatan, 6 % gangguan penglihatan, dan 2 % gangguan pendengaran.

Tanda-tanda kelainan atau gangguan khusus pada siswa (jika ada) perlu diketahui guru. Kadang-kadang adanya kelainan khusus pada diri anak, secara langsung atau tidak langsung, dapat menjadi salah satu faktor timbulnya problema belajar. Tentu saja hal ini sangat bergantung pada berat ringannya kelainan yang dialami serta sikap penerimaan anak terhadap kondisi tersebut.

G. Tindak Lanjut Kegiatan Identifikasi

Sebagai tindak lanjut dan kegiatan identifikasi anak berkelainan untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai, maka dilakukan tindak lanjut sebagai berikut:

1. Pelaksanaan Asesmen

Asesmen merupakan kegiatan penyaringan terhadap anak-anak yang telah teridentifikasi sebagai anak berkebutuhan khusus . Kegiatan asesmen dapat dilakukan oleh guru (untuk beberapa hal), dan tenaga profesional lain yang tersedia sesuai dengan kompetensinya. Kegiatan asesmen meliputi beberapa bidang, antara lain:

a. Asesmen Akademik

Asesemen akademik sekurang-kurangnya meliputi tes kemampuan membaca, menulis dan berhitung.

b. Asesmen Sensorik dan Motorik:

Asesmen sensorik terutama untuk mengetahui ganguan penglihatan, pendengaran. Sedangkan asesmen motorik untuk mengetahui gangguan motorik halus maupun kasar yang mungkin dapat mengganggu pembelajaran bidang yang lain.

c. Asesemen Psikologik, Emosi dan Sosial.

Asesmen psikologik dapat digunakan untuk mengetahui potensi intelektual dan kepribadian abak, Juga dapat diperluas dengan tingkat emosi dan sosial anak.

d. Asesemen lain yang dianggap perlu:

Misalnya aspek kesehatan, status gizi dan perkembangan fisik anak. Informasi ini sangat penting karena aspek kesehatan sangat berpengaruh terhadap konerja belajar anak.

Ada bagian-bagian tertentu yang dalam pelaksanaan asesmen mebutuhkan tenaga profesional sesuai dengan kewenangannya. Guru dapat membantu dan memfasilitasi terselenggaranya asesmen tersebut sesuai dengan kemampuan orang tua dan sekolah.

2. Perencanaan Pembelajaran dan Pengorganisasian Siswa

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan dapat meliputi: menetapkan bidang atau aspek problema belajar yang akan ditangani. Apakah seluruh mata pelajaran, sebagian mata pelajaran, atau hanya bagian tertentu dari suatu mata pelajaran. Menetapkan pendekatan pembelajaran yang akan dipilih termasuk rencana pengorganisasian siswa, apakah bentuknya berupa pelajaran remedial, pengayaan, pendekatan kooperatif, atau kompetitif, dan lain-lain, menyususun program individual.


3. Pelaksanaan Pembelajaran

Pada tahap ini guru melaksanakan program pembelajaran serta pengorganisasian siswa berkelainan dalam kelas reguler sesuai dengan rancangan yang telah disusun dan ditetapkan pada tahap sebelumnya. Sudah tentu pelaksanaan pembelajaran harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan dan kemampuan anak, tidak dapat dipaksakan sesuai dengan target yang akan dicapai oleh guru. Program tersebut bersifat fleksibel.


4. Pemantauan Kemajuan Belajar dan Evaluasi

Untuk mengetahui keberhasilan guru dalam membantu mengatasi kesulitan belajar anak, perlu dilakukan pemantauan secara terus menerus terhadap kemajuan dan/atau bahkan kemunduran belajar anak . Jika anak mengalami kemajuan dalam belajar, pendekatan yang dipilih guru perlu terus dimantapkan , tetapi jika tidak terdapat kemajuan perlu diadakan peninjauan kembali, baik mengenai isi dan pendekatan program, maupun motivasi anak yang bersangkutan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Dengan demikian diharapkan akhirnya semua problema belajar anak secara bertahap dapat diperbaiki sehingga anak terhindar dari kemungkinan tidak naik kelas atau bahkan putus sekolah.

Secara praktis, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan sebagai orang-orang yang berada di dekat anak-anak maupun orang-orang yang berkebutuhan khusus

1. Mereka tidak boleh dikasihani tetapi dihargai sebagai manusia yang utuh

Anne Sullivan Macy, guru Helen Keller, memberi contoh yang sangat baik tentang bagaimana seharusnya kita bersikap kepada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, yaitu dengan TIDAK mengasihani mereka hanya karena mereka memiliki kekurangan. Saat si kecil Helen yang berusia sekitar 7 tahun makan dengan caranya sendiri yang sangat berantakan dan benar-benar jauh dari aturan sopan santun (karena sejak usia 1 tahun-an Helen sudah menderita buta dan tuli, jadi sejak itu belum ada orang yang bisa berkomunikasi dengannya dan mengajarkan tata krama) Anne Sullivan dengan tegas “mendidik” Helen dengan sangat keras. Meskipun mulanya kedua orang tua Helen keberatan dengan cara-cara Anne Sullivan, akhirnya mereka bisa menerima, bahwa mengasihani putri mereka karena cacat yang dideritanya justru tidak akan membawa kepada perubahan yang lebih baik.

Nick Vujivic adalah contoh lain tentang ketegaran hati seseorang menghadapi “ketidakberuntungan” dalam hidup. Nick dilahirkan tanpa tangan dan kaki. Ada banyak alasan bagi Nick untuk mengasihani diri sendiri dan membuat hidupnya bergantung dari belas kasihan orang lain karena dia benar-benar cacat dan “tidak dapat bekerja”. Tetapi semua orang tahu, bukan pilihan hidup seperti itu yang dijalani oleh Nick. Saat ini Nick adalah seorang pengusaha muda yang sukses, seorang Motivator yang hebat, dan sungguh seorang anak Tuhan yang dipakai secara luar biasa untuk membangkitkan semangat hidup orang-orang yang mendengar ceramahnya.

2. Mereka jangan dikucilkan, tetapi diterima

Ada seorang anak Sekolah Minggu, sebut saja namanya Steven (bukan nama sesungguhnya) yang menurut penuturan orang tuanya, mengidap Autis dan Hiperaktif. Steven akan menyentuh apa saja yang ditemuinya, bahkan tidak akan ragu-ragu naik meja untuk mengambil gitar Guru Sekolah Minggu yang sudah “diamankan” di ujung meja sana. Melihat tingkah laku Steven serasa melihat gasing yang selalu berputar. Guru Sekolah Minggu yang bertugas pasti dibuatnya “kerepotan”.

Si Ibu, saya lihat, dengan sabar selalu menemani dan mengikuti, sekaligus menjagai Steven. Sudah bertahun-tahun si Ibu mengalami hal ini, karena kakak Steven dulunya juga mengalami gangguan perkembangan persis seperti yang saat ini dialami oleh Steven. Dalam hati saya berpikir, betapa melelahkannya …. Sekaligus saya sangat salut dengan si Ibu yang tidak pernah saya lihat marah-marah atau menjadi be te karena tingkah laku anaknya tersebut.

Anak-anak seperti Steven, dan orangtuanya juga, perlu merasa diterima oleh lingkungannya. Ibu Steven setiap hari Minggu ke gereja, tetapi tidak pernah bisa ikut kebaktian atau menemani anaknya “duduk manis” di Sekolah Minggu. Steven selalu bergerak setiap detik dan setiap saat, demikian juga si Ibu. Tetapi, alih-alih mengurung Steven di rumah, si Ibu tetap dengan setia, setiap Minggu, mengajak dan menemani Steven ke gereja. Meski pun ini berarti si Ibu juga harus siap keliling gedung gereja, naik turun tangga dari lantai satu ke lantai lainnya (gerejanya punya 4 tingkat tanpa lift), pindah dari satu ruang ke ruang yang lain, demikian seterusnya hingga jam kebaktian berakhir.

Beberapa tahun telah berlalu, dan kadang saya masih sempat berjumpa dengan si Ibu saat menjemput Steven, yang sudah bersekolah di sebuah SD kristen yang sama dengan anak saya waktu itu. Dari perbincangan itu saya bisa merasakan betapa leganya si Ibu setelah akhirnya melewati “masa-masa sulit” dan kini si anak sudah dapat berperilaku “normal” seperti anak-anak lainnya. Banyak orang tua maupun teman Steven yang tidak pernah tahu bila dulu semasa kecilnya, Steven pernah mengalami gangguan perkembangan perilaku.

3. Sama spt anak lainnya, mereka harus diberi kesempatan untuk bertumbuh secara optimal

Di sebuah Sekolah Minggu yang lain, ada kasus yang agak berbeda. Sebut saja seorang anak yang bernama Deni (bukan nama sesungguhnya). Deni dikenal sebagai seorang anak yang “bodoh” (diperkuat dengan bukti bahwa Deni pernah tidak naik kelas) dan kurang bisa bergaul karena dia cenderung lebih suka bermain sendiri daripada berbaur bersama dengan teman-temannya. Hingga suatu hari, ada fenomena baru yang membuat para Guru Sekolah Minggu dan teman-teman melihat sesuatu yang lain dalam diri Deni.

Deni mengajak seorang teman baru ke Sekolah Minggu, uniknya, teman baru tsb adalah seorang anak yang tunarungu / tuli. Ëntah dimana Deni pernah belajar bahasa isyarat, atau mungkin juga Deni sebenarnya belum pernah mempelajarinya, tetapi itu tidak penting. Yang sungguh mengejutkan adalah, Deni bisa berkomunikasi dengan baik dengan temannya yang tunarungu tsb, bahkan di Sekolah Minggu, dengan bangga Deni menjadi “penerjemah” sekaligus pendamping bila temannya yang tunarungu tsb membutuhkan bantuannya. Kejadian ini membuktikan bahwa sebenarnya Deni tidaklah bodoh, dan tidak benar juga bila dikatakan dia tidak pandai bergaul.

Anak-anak seperti Deni, yang mungkin menyandang sebutan Learning Disability (mengalami kesulitan belajar), atau biasa dikatakan “lamban” (slow learner), umumnya dirugikan karena “bukti akademik” yang dicapainya tidaklah sehebat teman-teman sebayanya. Ditambah lagi dengan stigma bahwa dia pernah tidak naik kelas, akan semakin memperburuk keadaannya. Anak-anak seperti ini selamanya akan hidup di bawah bayang-bayang persepsi orang lain akan “kelemahannya” tersebut.

Sudah saatnya kita mulai menyadari bahwa tidak ada gunanya untuk berfokus pada kekurangan atau kelemahan seseorang. Akan jauh bermanfaat dan membangun, bila kita mau mengganti fokus kita pada kelebihan dan keunikan orang lain. Saat kita belajar untuk menghargai keunikan orang lain, dan berupaya untuk melihat kelebihan orang lain, maka hal positif lah yang akan kita tuai.

Di sebuah Sekolah Dasar, dimana saya pernah memberikan pelatihan tentang Multiple Intelligences, ada sebuah temuan yang menarik. Para siswa kelas 1 SD di sekolah ini, dimasukkan / dikelompokkan ke dalam kelas berdasarkan hasil Tes IQ. Dimana kelas 1A berisikan para siswa yang memperoleh nilai Tes IQ tinggi, kelas 1B siswa yang memperoleh nilai Tes IQ sedang, dan kelas 1 C, tentu saja, siswa-siswa yang memperoleh nilai Tes IQ lebih rendah dibanding siswa-siswa di kedua kelas sebelumnya. Anak-anak ini sudah di”cap” dan diberi stigma, bahkan sebelum mereka menunjukkan prestasi akademik mereka yang sesungguhnya. Alhasil, sepanjang semester yang telah berlalu, mereka, karena diperlakukan seperti anak-anak yang “kurang pandai” juga menunjukkan hasil akademik yang lebih rendah dibanding kedua kelas lainnya.

Tetapi, saat Guru mereka mencoba mempraktekkan model pengajaran Multiple Intelligences, hasil yang dicapai oleh siswa-siswa di kelas ini sungguh menggembirakan. Kami menemukan, bahwa ternyata kekuatan para siswa di Kelas 1 C ini pada umumnya adalah pada gaya belajar KINESTETIK, dimana mereka akan lebih mampu menyerap materi pelajaran melalui pengalaman praktek di lapangan ketimbang mendengarkan ceramah di dalam kelas.

Jadi sebenarnya, anak-anak yang selama ini dianggap memiliki kelemahan belajar atau kurang pandai, bisa saja sebenarnya adalah anak-anak yang memiliki gaya belajar yang TIDAK terwakili di sekolahnya. Kalau saja lingkungan mereka lebih “ramah” dan lebih “manusiawi”, niscaya anak-anak ini akan dapat tumbuh secemerlang teman-teman lain yang memang memiliki nilai IQ yang lebih tinggi.

Bila praktek-praktek di Sekolah “konvensional” telah menyebabkan sebagian anak terhambat perkembangannya, terutama dalam hal emosi dan sosial, baiklah di rumah dan di Gereja, di Sekolah Kristen maupun Sekolah Minggu tidak perlu melakukan kesalahan yang sama. Perlu kita mengevaluasi diri kita sendiri sebagai Orang Tua, Guru Kristen, dan juga Guru Sekolah Minggu atau Aktivis Pelayanan Anak.

- Apakah kita telah menyediakan lingkungan yang “ramah” dan “manusiawi” bagi setiap anak untuk bertumbuh secara optimal?

- Apakah kita sudah menghargai keunikan setiap anak serta mendorong mereka untuk berkembang sesuai dengan potensi / bakat minatnya masing-masing?

- Adakah tempat bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus di rumah atau di kelas yang kita asuh?

Mari, agar hidup kita sebagai orang-orang yang telah dipanggil Kristus berpadanan dengan panggilan itu. Dengan penuh kasih, kita saling menguatkan dan mendukung saudara-saudara kita yang hidup bersama anak-anak berkebutuhan khusus, kita memberi dengan sukacita dan menolong, sesuai talenta maupun karunia yang Tuhan berikan, agar anak-anak dengan kebutuhan khusus yang kita layani boleh makin bertumbuh di dalam Tuhan. Dan pada akhirnya, nama Tuhan saja yang makin dipermuliakan.

Anak berkebutuhan khusus di tengah komunitas anak “normal”

Berbeda dengan anak-anak yang memiliki gangguan fisik (seperti misalnya: tunanetra, tunarungu, atau tunawicara, dan mungkin cacat fisik yang dikarenakan kehilangan anggota tubuh), anak-anak yang memiliki gangguan perkembangan mental umumnya tidak akan pernah bisa mengejar standar kemampuan akademik teman-teman seusianya. Namun, bukan berarti mereka layak dipisahkan atau dilokalisasi dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Anak-anak ini tetap memiliki hak asasi untuk menjadi bagian dari sebuah komunitas “normal” dan hidup bersama-sama di dalamnya. Tentu akan ada layanan-layanan khusus yang menyertai anak-anak ini, misalnya: terapi fisik, terapi okupasi, terapi wicara, pengajaran ketrampilan merawat diri sendiri, pengajaran akademik yang fungsional, serta persiapan khusus untuk dapat hidup bermasyarakat se-mandiri mungkin.

Dalam sebuah kesempatan, saya sempat berbincang dengan seorang Guru SD yang mengajar siswa kelas 1. Salah seorang muridnya menderita hydrochepalus (ada cairan di dalam kepalanya). Karena anak ini berasal dari keluarga yang kurang mampu, belum ada tindakan medis atau terapi apa pun yang sudah dilakukan untuk membantunya mengatasi gangguan perkembangan tersebut. Si Guru dengan penuh kasih sayang, memberikan waktu dan kesabaran yang lebih dalam mengajar anak ini, karena ternyata daya tangkapnya tidaklah sebaik teman-teman sekelasnya, selain itu beberapa gerakan fisiknya juga mengalami gangguan. Meskipun kondisi kelas dan fasilitas yang ada jauh dari sempurna, karena sekolah ini melayani anak-anak dari golongan ekonomi menengah ke bawah (saya berada di kelas tsb selama proses pelajaran berlangsung) saya sungguh dapat merasakan suasana kelas yang menyenangkan, karena baik Guru maupun para siswa, semua menerima anak yang memiliki gangguan perkembangan tsb dengan tangan terbuka.

Salah satu contoh klasik yang sangat mengagumkan adalah riwayat hidup HELEN KELLER. Karena penyakit yang nyaris merenggut nyawanya, si kecil Helen menjadi buta dan tuli sekaligus di usianya yang belum lagi genap 2 tahun. Tak heran bila kemudian Helen bertumbuh menjadi seorang anak yang “liar” dan tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun. Sampai suatu saat, seorang guru bernama Anne Sullivan Macy datang untuk membantu dan mengajar Helen. Sejak saat itulah, kehidupan Helen Keller berubah, dari seorang gadis kecil yang hampir tidak memiliki masa depan, menjadi seorang terpelajar yang sangat terkenal, dan pengaruhnya begitu luar biasa hingga namanya saat ini diakui sebagai salah satu Tokoh Dunia yang paling berpengaruh. Helen Keller menjadi orang buta dan tuli pertama yang lulus dari perguruan tinggi (th 1900 Helen Keller lulus tes masuk Harvard University, dan 4 tahun kemudian, Helen menyelesaikan studinya dg nilai memuaskan). Helen bahkan menguasai beberapa bahasa asing seperti Jerman, Perancis, Latin, dan lainnya. Sejak muda hingga masa tuanya, Helen Keller telah berkeliling ke berbagai negara di dunia untuk menyebarkan semangat dan cita-citanya, yaitu agar masyarakat mau menerima dan menghargai orang-orang cacat.

Konvensi Hak Anak, yang disahkan oleh PPB th. 1989 juga menyebutkan pasal-pasal yang terkait dengan tindakan non-diskriminasi, termasuk di dalamnya adalah kepada anak-anak yang cacat. Pasal-pasal yang lain juga membahas tentang Hak tumbuh kembang, yaitu bahwa setiap anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan.

Sekolah Inklusi

Dalam sebuah kesempatan lain, saya berkenalan dan berbincang dengan seorang Kepala Sekolah di sebuah sekolah menengah kristen. Dia bercerita tentang salah seorang siswanya yang tunarungu (tidak dapat mendengar), sebut saja namanya Angel (bukan nama sesungguhnya). Anak-anak tunarungu, umumnya juga mengalami kesulitan bicara meskipun sebenarnya mereka tidak bisu, tetapi karena sejak bayi tidak pernah mendengar suara, mereka seringkali mengalami kesulitan belajar bicara. Angel sejauh ini bisa mengikuti pelajaran di Sekolah Reguler dengan baik, bahkan prestasi akademiknya pun sangat cemerlang. Dia juga bisa bergaul dengan teman-teman “normal”nya. Yang menarik, adalah saat Angel harus berhadapan dengan Ujian Nasional yang membutuhkan bahasa lisan. Pihak sekolah menawarkan sebuah kebijakan, mengingat Angel adalah seorang siswa tunarungu, mereka menawarkan jenis ujian tertulis untuk materi tsb. Angel dengan tegas menolak. Dia ingin diperlakukan SAMA, seperti layaknya siswa-siswa ”normal” lainnya. Jadi, dengan segala upaya dan kerja keras, Angel menjalani ujian lisannya, dan dia BERHASIL!

Ada banyak siswa lain seperti Angel, yang meskipun memiliki gangguan / keterbatasan fisik, tetap ingin hidup “normal” serta diterima apa adanya oleh lingkungan dan teman-teman mereka. Mungkin kita tidak menyadari, bahwa respons atau reaksi kita terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus ini SANGAT BESAR dampaknya. Bagi Angel, pihak sekolah yang menerima keberadaan dirinya, juga guru serta teman-teman yg mendukungnya, berperan sangat positif bagi kemajuan hidupnya.

Tetapi di tempat lain, ada seorang remaja lain yang menderita gangguan pendengaran (tidak tuli, tetapi membutuhkan alat bantu untuk bisa mendengar dengan baik), sebut saja namanya Jason (bukan nama sesungguhnya) tidak seberuntung Angel. Setiap kali Jason mengenakan alat bantu dengar tsb, teman-temannya justru mengolok bahkan berteriak keras-keras di dekatnya. Bukan saja hal tsb berbahaya bagi telinga Jason, tetapi respons teman-temannya tsb membuat Jason malu menggunakan alat bantu di kelas, yang tentu saja berakibat tidak baik pada prestasi akademiknya di sekolah.

Anak-anak kita, sejak dini, harus mulai diajarkan bagaimana hidup bersama dalam perbedaan. Secara khusus, bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap orang lain yang memiliki keterbatasan karena gangguan perkembangan.

Sekolah Inklusi adalah salah satu model sekolah yang berusaha menciptakan lingkungan sekolah yang “ramah” bagi semua, termasuk menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus berada di kelas yang sama dengan anak-anak “normal” lainnya. Perlu diketahui, bahwa tidak semua sekolah siap menerima kehadiran anak-anak dengan kebutuhan khusus, terutama anak-anak yang memiliki gangguan perkembangan sedemikian rupa sehingga (dianggap) dapat mengganggu jalannya proses pelajaran di kelas, seperti misalnya: anak autis, anak hiperaktif, atau anak-anak yang menderita cerebral palsy. Biasanya keberatan yang diajukan oleh pihak sekolah adalah karena tidak tersedianya tenaga profesional yang memadai maupun fasilitas untuk dapat melayani anak-anak tersebut.

Bagaimana pun, tantangan bagi Sekolah Inklusi tentu lebih berat dibanding Sekolah Reguler pada umumnya. Tetapi hasil yang dicapai ternyata sangat menggembirakan bagi semua pihak. Riset membuktikan bahwa kehadiran siswa-siswa berkebutuhan khusus, ternyata tidak berdampak negatif terhadap prestasi siswa-siswa “normal” yang sekelas dengan mereka, sebagaimana yang dikuatirkan oleh banyak pihak. Justru anak-anak “normal” tsb bertumbuh menjadi orang yang lebih berwawasan, makin bijak, serta lebih terbuka. Bagi siswa-siswa yang berkebutuhan khusus, penerimaan atas diri mereka di Sekolah Inklusi bersama siswa-siswa “normal” lainnya menunjukkan pengaruh motivasi yang meningkat, yang tentu saja dibarengi dengan tingkat prestasi yang lebih tinggi serta kemajuan yang lebih pesat dibanding bila mereka berada di Sekolah Khusus.

Belajar memiliki hati yang lebih peka

Sewaktu hari wisdua, dimana saya sibuk berfoto bersama teman-teman, tiba-tiba Papa memanggil dan mengajak saya berfoto bersama seorang pemudi yang dilihatnya sedang duduk sendirian sambil mengamati sukacita teman-temannya yang berlarian kesana kemari dengan gelak tawa riang. Si pemudi ini satu tingkat di atas saya, jadi saya kurang begitu mengenalnya, bahkan sekarang pun saya sudah lupa namanya, padahal kami cukup sering bertemu karena pernah mengambil kelas-kelas kuliah yang sama. Apa yang menarik dari pemudi ini sampai Papa saya ingin berfoto dengannya?

Papa saya bilang, dan ini sebuah pelajaran berharga buat saya di hari wisuda, “Anak ini hebat. Meskipun dia cacat dan memakai kursi roda, dia bisa menyelesaikan studinya dengan baik. Papa mau kita foto dan berkenalan dengannya.”

Selama 4 tahun saya berada satu kampus dengannya, bahkan sering satu kelas, tak pernah sekali pun ada kepekaan dalam hati saya terhadap dia, betapa malunya saya. Papa saya telah mengajarkan satu hal penting, yaitu bagaimana memiliki mata hati yang bisa melihat menembus hal-hal fisik. Saya jadi teringat teman-teman pria semasa kuliah, yang dengan setia, selalu bergantian mengangkat si pemudi tsb dengan kursi rodanya naik tangga menuju ruang kuliah. Bayangkan bila kelas kami berada di lantai 4 dan tidak ada lift (dan ini benar-benar terjadi), selama bertahun-tahun teman saya ini diangkat, dibawa naik dan turun oleh teman-teman pria yang bertubuh kuat.

Saya pikir, teman-teman pria tersebut telah mempraktekkan apa yang dikatakan dalam Efesus 4:2 “Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” Ya, anak-anak dan orang berkebutuhan khusus umumnya sangat membutuhkan bantuan orang lain, dan ini adalah kesempatan bagi kita untuk memberikan perhatian-perhatian kecil yang bukan saja menyukakan manusia melainkan juga menyukakan hati Tuhan.

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berbincang dengan seorang Kepala Sekolah dari sebuah Sekolah Kristen. Sekolah ini pernah menerima anak-anak berkebutuhan khusus dan menempatkannya dalam kelas yang sama dengan anak-anak “normal” lainnya. Memang, beban tugas para Guru jadi lebih berat, demikian juga dengan anak-anak “normal” yang mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan kehadiran teman spesial mereka ini, yang kadang menghilang dari kelas, mengacaukan apa yang sudah dirapikan oleh seluruh anggota kelas, dan masih ada banyak kejutan-kejutan lainnya yang terjadi. TETAPI … ada berkat di balik semua hal yang seolah “mengganggu” jalannya pelajaran tsb.

Bila kita menganggap pendidikan adalah sekedar mentransfer Ilmu Pengetahuan, maka baiklah lupakan anak-anak berkebutuhan khusus. Karena mereka hampir tidak mungkin se-brillian teman-teman “normal” mereka. Tetapi bila kita menganggap pendidikan adalah sebuah proses dimana anak-anak kita belajar untuk menjalani HIDUP ini dengan lebih bijak, lebih berwawasan, lebih pandai, dan lebih terampil, maka mengijinkan mereka (baik anak-anak “normal” maupun anak-anak berkebutuhan khusus) hidup bersama-sama dalam suatu komunitas akan membawa hasil yang sangat luar biasa.

Anak-anak “normal” di kelas ini tumbuh menjadi anak-anak yang lebih mau mengerti orang lain, lebih bisa menguasai emosi dan bahkan membantu Guru untuk mengawasi maupun membantu teman mereka yang berkebutuhan khusus tsb. Perlu diingat, bahwa anak-anak yang saya ceritakan di sini adalah anak-anak BALITA. Luar biasa bukan? Menarik sekali mengetahui bahwa ada lingkungan pendidikan yang sedemikian “ramah” dan “bersahabat” bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, karena ada kebijakan baru dari pihak yayasan untuk tidak lagi menerima anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah tersebut.

Menghargai dan menerima perbedaan

Langkah sederhana yang bisa kita lakukan sebagai orang tua, adalah menjelaskan kepada anak-anak kita tentang keberadaan anak-anak dengan kebutuhan khusus tersebut. Dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh anak-anak yang masih kecil, kita bisa mengatakan misalnya (dalam kasus Don di atas): Don berbeda dengan kamu. Don tidak bisa diam bukan karena dia tidak mau diam, dia memang benar-benar tidak bisa diam, tubuhnya selalu mendorong dia untuk bergerak terus. Don juga sulit untuk menuruti kata-kata Guru, mungkin dia tidak mengerti. Don suka marah dan memukul, mungkin karena dia belum bisa bicara. Jadi, saat orang lain tidak mengerti apa yang dia mau, dia sedih, dan dia bingung bagaimana membuat orang lain itu tahu apa yang diinginkannya. Mama kasihan sama Don … dia perlu banyak dibantu. Mungkin dia juga butuh teman-teman yang mau mengasihinya.

Hal sederhana lain yang bisa juga kita lakukan adalah memperlakukan Don sebagai salah seorang teman anak kita, sama seperti teman-teman lainnya. Mungkin dengan menyempatkan diri berbincang dengannya, atau bermain dengannya (bila dia mau). Binalah hubungan dan komunikasi yang baik dengan keluarga Don. Semakin kita mengenal seseorang, biasanya kita akan lebih bersimpati dan berempati. Kita jadi memiliki “kaca mata” lain untuk memandang segala fenomena permasalahan yang mungkin tampak saat itu.

Sebagai guru, kita bisa menjelaskan kepada para siswa bahwa setiap anak unik adanya. Contoh yang sangat sederhana, ada anak yang mudah sekali belajar membaca, ada yang mengalami kesulitan. Ada anak yang cepat sekali memahami soal matematika, ada juga yang benar-benar harus berjuang dalam belajar matematika. Ada anak yang fisiknya sangat lentur, pandai menari balet atau senam, ada yang seolah badannya kaku seperti robot bila harus berada di lapangan olah raga. Ini semua dialami oleh anak-anak “normal”. Sayangnya, sebagian anak-anak di dunia ini mengalami keterbatasan yang lebih serius karena gangguan perkembangan dalam diri mereka. Misalnya: anak-anak yang terlahir cacat secara fisik. Mungkin mereka tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau tidak bisa bicara. Ada juga anak yang lumpuh kakinya karena terserang penyakit atau kecelakaan. Anak-anak ini, meskipun berbeda perilaku dan cara hidupnya, adalah juga anak-anak “normal” sama seperti kalian. Mereka butuh diterima dan dikasihi, mereka adalah teman-teman kalian di sekolah ini. Merendahkan atau menghina mereka karena kekurangan / kelemahannya, sungguh merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji.

Mengajarkan kepada anak sejak dini, baik di rumah, di sekolah, maupun di Sekolah Minggu agar mereka peka dan peduli terhadap orang-orang lain merupakan investasi yang sangat berharga bagi terbentuknya suatu komunitas yang lebih “manusiawi” di masa yang akan datang.